Halaman

Senin, 28 Februari 2011

ham(hak asasi manusia)...

Sejak diundangkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Desember 1948,  penegakan hak asasi manusia (HAM) di berbagai negara, baik di negara-negara berkembang dan miskin serta di negara maju masih menjadi ilusi. Padahal Dewan HAM PBB selaku payung tertinggi lembaga HAM di dunia juga mengundangkan berbagai instrumen derivatif HAM lainnya. Sampai saat ini, mayoritas negara di dunia termasuk Indonesia sudah meratifikasi berbagai instrumen HAM. Konsekuensinya negara-negara tersebut telah terikat secara hukum untuk menaati segala peraturan yang ada didalam instrumen HAM. Namun pada kenyataannya, realitas menunjukan bahwa telah terjadi ‘dislokasi HAM’ di berbagai negara karena banyak faktor. Misalnya keberadaan rejim otoriter, kebijakan dan undang-undang yang masih diskriminatif terutama bagi kelompok minoritas, globalisasi, politik global, terorisme, konsep kedaulatan negara, relativisme budaya, doktrin agama dan berbagai sebab lainnya. Bahkan pelanggaran HAM juga masih terjadi di kawasan Eropa Barat sebagai cetak biru penegakan HAM di dunia.
Sebenarnya, problematika penegakan HAM di dunia tidak hanya terbatas pada kondisi damai seperti diatas. Sebaliknya kasus pelanggaran HAM yang paling serius justru terjadi pada saat perang. Dalam sejarahnya, perang dalam berbagai bentuknya telah mengakibatkan dampak negatif atau ‘collateral damage’ seperti terbunuhnya masyarakat sipil tak berdosa, genosida, pengungsian dan penderitaan yang luar biasa bagi berbagai pihak. Selain itu, perang yang terjadi akhir-akhir ini juga memunculkan seterotipe baru dalam hukum internasional yakni perang melawan terorisme. Bahkan perang inilah yang justru mengakibatkan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan karena telah membunuh ribuan rakyat sipil yang dianggap terlibat dalam terorisme. Artinya, berbicara tentang HAM tidak bisa lepas dari diskursus tentang hukum humaniter internasional (HHI) sebagai lex specialis instrumen internasional HAM dan begitu juga sebaliknya.
Indonesia adalah negara yang sedang tinggal landas dalam penegakan HAM. Era reformasi dan berbagai instrumennya telah berhasil menancapkan tiang pancang penegakan HAM didalam berbagai perundang-undangan nasional. Namun realitas menunjukan bahwa kondisi HAM di Indonesia  tidak sebaik yang ada dalam teks-teks perundang-undangan tersebut. Ada banyak faktor yang mendasarinya seperti belum siapnya infrastruktur hukum, sempitnya pengetahuan HAM masyarakat, masih adanya konflik hukum dalam perundang-undangan, pengaruh kelompok agama tertentu, ketimpangan ekonomi maupun globalisasi. Selain itu, heterogenitas masyarakat dengan berbagai atributnya mengakibatkan penegakan HAM di Indonesia menjadi lebih sulit dibanding di negara lain. Situasi ini mendesak pemerintah agar bisa menyiapkan berbagai infrastruktur yang memadai untuk menegakan HAM secara imparsial.
Atas dasar berbagai macam persoalan HAM itulah Fakultas Hukum Universitas Jember mendirikan Pusat Studi Hak Asasi Manusia/Research Institute of Human Rights/RIHR yang resmi didirikan berdasarkan Surat Keputusan Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember Nomor 2278/H25.1.1/KP13/2010. RIHR merupakan sebuah lembaga yang khusus melakukan kajian tentang HAM baik di Indonesia maupun di dunia internasional. Lembaga ini diharapkan menghasilkan diskursus tentang berbagai isu HAM, tidak hanya di level Jawa Timur namun juga di level nasional dan bahkan internasional.
Kegiatan
Beberapa macam bentuk kegiatan RIHR sebagai berikut;
a.    Melakukan riset tentang HAM melalui berbagai skema pendanaan lembaga pemerintah seperti Direktorat Jenderal (Dirjen) Perguruan Tinggi,  Balitbangprov dan lembaga pemerintah lainnya maupun melalui skema pendanaan dari negara asing dan lembaga internasional
b.    Melakukan penelitian mandiri untuk menyikapi berbagai persoalan HAM kontemporer
c.    Mengadakan seminar, workshop atau pelatihan HAM bagi masyarakat dan aktifis HAM melalui berbagai skema pendanaan seperti DIPA fakultas, universitas, dana dari lembaga pemerintah, negara asing maupun lembaga non pemerintah nasional maupun internasional
d.    Mempublikasikan berbagai karya ilmiah seputar HAM. Bentuknya bisa berupa jurnal, bulletin, buku atau jenis publikasi lainnya yang bisa dijadikan sumber bacaan bagi masyarakat umum. Publikasi ilmiah sangat penting karena bisa menjadi salah satu media untuk mendiseminasi HAM ke masyarakat luas.
e.    Dalam setiap kegiatan yang dilakukan, lembaga ini bisa melakukannya secara mandiri atau menjalin kerjasama dengan lembaga di luar Fakultas Hukum ataupun Universitas Jember.
Bidang Kajian
Ada beberapa bidang kajian yang menjadi perhatian dari lembaga HAM.
Bidang kajian yang pertama fokus pada isu-isu seputar HAM yang dikelompokan dalam dua bidang kajian.
  1. Bidang Kajian Hak Sipil dan Politik. Bidang ini mengurusi kajian wilayah hak sipil dan politik seperti hak untuk hidup, bebas berpendapat, beragama, mendapatkan kepastian hukum, berserikat dan hak lainnya. Bidang ini merupakan elemen paling penting karena sejarah pelanggaran HAM yang paling sering terjadi di berbagai negara adalah tentang hak sipil dan politik. Bidang ini tidak hanya memfokuskan kajian pada situasi HAM di Jawa Timur atau Indonesia melainkan juga di berbagai negara
  2. Bidang Kajian Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Bidang ini mengurusi kajian wilayah hak Ekonomi Sosial dan Budaya seperti hak mendapatkan pendidikan, mendapatkan rumah yang layak, gaji yang memadai dan hak-hak sosial lainnya.
Di lokal Jember, kajian ini mutlak diperlukan karena ada beberapa perusahaan yang mempekerjakan ribuan buruh. Selain itu, kesenjangan ekonomi juga semakin tinggi khususnya antara masyarakat perkotaan dan pedesaan. Selain itu, bidan ini juga akan mengkaji aksesibilitas pendidikan bagi masyarakat pinggiran.
Pemetaan Fokus Kajian
Di lingkup Jawa Timur, khususnya di Karesidenan Besuki, RIHR mempunyai keuntungan demografi dan geografi yang sangat luas untuk melakukan kajian HAM.  Adapun pemetaan kajian sebagai berikut:
  1. Perlindungan terhadap kelompok minoritas. Sampai saat ini, pengetahuan masyarakat tentang hak-hak kelompok agama minoritas masih sangat rendah. Oleh karena itu para penganut agama minoritas sering mendapatkan perlakuan diskriminatif, teralienasi secara sosial dan juga mengalami kekerasan fisik.
  2. Diseminasi hak politik masyarakat. Wacana pemilukada di Indonesia telah mengancam hak sipil dan politik masyarakat karena sarat dengan praktik jual beli suara. Praktik ini merupakan salah satu penyebab utama yang menghambat kemajuan Indonesia. Oleh karena itu, kajian ini menfokuskan pada penguatan hak sipil dan politik masyarakat untuk menciptakan iklim demokrasi di Indonesia.
  3. Aksesibilitas pendidikan. Meskipun anggaran untuk pendidikan dari pemerintah sudah meningkat, namun pada kenyataannya masih ada kelompok masyarakat yang kesulitan mengakses pendidikan, khususnya masyarakat miskin. Oleh karena itu, RIHR akan melakukan kerjasama dengan lembaga swadaya di Jember dan sekitarnya untuk menyediakan pendidikan alternatif bagi masyarakat kurang mampu. Sampai saat ini, ada satu sekolah (SMP Terbuka) yang bersedia untuk menjalin kerjasama dengan RIHR dengan menyediakan pendidikan alternatif bagi murid kurang mampu.
  4. Perlindungan buruh. Ada beberapa perusahaan nasional dan asing di wilayah Jember, Banyuwangi, Bondowoso, Situbondo, Lumajang dan sekitarnya dimana ribuan buruh menggantungkan hidupnya pada perusahaan-perusahaan tersebut. Kajian ini menfokuskan pada penguatan pengetahuan buruh terhadap hak-hak dasar mereka.
  5. Pemetaan permasalahan hak ekonomi, sosial dan budaya. Kajian ini menfokuskan pada riset tentang realitas kemiskinan yang ada di berbagai daerah. Riset ini diharapkan bisa memberikan sumbangan pemikiran kepada pemerintah daerah dan pemerintah pusat untuk mereformulasi kebijakan negara dalam mengentaskan kemiskinan dan berbagai persoalan sosial lainnya.
Jaringan
Jaringan merupakan salah satu elemen fundamental yang harus dimiliki oleh sebuah lembaga penelitian. Dalam hal ini, beberapa pihak yang bisa dijadikan partner kerja adalah;
  1. Lembaga pemerintah, negara asing, organisasi nasional maupun internasional  yang mempunyai perhatian yang hampir sama dengan lembaga HAM. Dalam hal-hal tertentu, lembaga juga bisa bekerja sama dengan lembaga yang membutuhkan keahlian para anggota RIHR.
  2. Lembaga antar universitas di Indonesia maupun di luar negeri yang mempunyai perhatian yang sama dengan lembaga HAM. Dalam hal-hal tertentu, RIHR bisa bekerja sama dengan pihak-pihak yang mempunyai perhatian yang sama dibidang HAM.
Agenda Terdekat
Mengadakan Seminar ‘Mengikis Radikalisme dan Terorisme Dalam Upaya Menegakan Kebebasan Beragama di Indonesia.’

ham

Menurut Jack Donnely, hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia.

Sementara Meriam Budiardjo, berpendapat bahwa hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahirannya di dalam kehidupan masyarakat. Dianggap bahwa beberapa hak itu dimilikinya tanpa perbedaan atas dasar bangsa, ras, agama, kelamin dan karena itu bersifat universal.

Dasar dari semua hak asasi ialah bahwa manusia memperoleh kesempatan berkembang sesuai dengan harkat dan cita-citanya. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Slamet Marta Wardaya yang menyatakan bahwa hak asasi manusia yang dipahami sebagai natural rights merupakan suatu kebutuhan dari realitas sosial yang bersifat universal.

Nilai universal ini yang kemudian diterjemahkan dalam berbagai produk hukum nasional di berbagai negara untuk dapat melindungi dan menegakkan nilai-nilai kemanusian. Bahkan nilai universal ini dikukuhkan dalam intrumen internasional, termasuk perjanjian internasional di bidang HAM.

Sementara dalam ketentuan menimbang huruf b Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapapun.

Mengenai perkembangan pemikiran hak asasi manusia, Ahli hukum Perancis, Karel Vasak mengemukakan perjalanan hak asasi manusia dengan mengklasifikasikan hak asasi manusia atas tiga generasi yang terinspirasi oleh tiga tema Revolusi Perancis, yaitu : Generasi Pertama; Hak Sipil dan Politik (Liberte); Generasi Kedua, Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Egalite) dan Generasi Ketiga, Hak Solidaritas (Fraternite). Tiga generasi ini perlu dipahami sebagai satu kesatuan, saling berkaitan dan saling melengkapi. Vasak menggunakan istilah “generasi” untuk menunjuk pada substansi dan ruang lingkup hak-hak yang diprioritaskan pada satu kurun waktu tertentu.

Ketiga generasi hak asasi manusia tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Hak asasi manusia generasi pertama, yang mencakup soal prinsip integritas manusia, kebutuhan dasar manusia, dan prinsip kebebasan sipil dan politik. Termasuk dalam generasi pertama ini adalah hak hidup, hak kebebasan bergerak, perlindungan terhadap hak milik, kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan, kebebasan berkumpul dan menyatakan pikiran, hak bebas dari penahanan dan penangkapan sewenang-wenang, hak bebas dari hukum yang berlaku surut dsb. Hak-hak generasi pertama ini sering pula disebut sebagai “hak-hak negatif” karena negara tidak boleh berperan aktif (positif) terhadapnya, karena akan mengakibatkan pelanggaran terhadap hak-hak dan kebebasan tersebut.

2. Pada perkembangan selanjutnya yang dapat disebut sebagai hak asasi manusia Generasi Kedua, konsepsi hak asasi manusia mencakup pula upaya menjamin pemenuhan kebutuhan untuk mengejar kemajuan ekonomi, sosial dan kebudayaan, termasuk hak atas pendidikan, hak untuk menentukan status politik, hak untuk menikmati ragam penemuan penemuan-penemuan ilmiah, dan lain-lain sebagainya. Puncak perkembangan kedua ini tercapai dengan ditandatanganinya ‘International Couvenant on Economic, Social and Cultural Rights’ pada tahun 1966. Termasuk dalam generasi kedua ini adalah hak atas pekerjaan dan upah yang layak, hak atas jaminan sosial, hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, hak atas pangan, hak atas perumahan, hak atas tanah, hak atas lingkungan yang sehat dsb. Dalam pemenuhan hak-hak generasi kedua ini negara dituntut bertindak lebih aktif (positif), sehingga hak-hak generasi kedua ini disebut juga sebagai “hak-hak positif”.

3. Hak-hak generasi ketiga diwakili oleh tuntutan atas “hak solidaritas”” atau “hak bersama”. Hak-hak ini muncul dari tuntutan gigih negara-negara berkembang atau Dunia Ketiga atas tatanan internasional yang adil. Melalui tuntutan atas hak solidaritas itu, negara-negara berkembang menginginkan terciptanya suatu tatanan ekonomi dan hukum internasional yang kondusif bagi terjaminnya hak-hak berikut: (i) hak atas pembangunan; (ii) hak atas perdamaian; (iii) hak atas sumber daya alam sendiri; (iv) hak atas lingkungan hidup yang baik dan (v) dan hak atas warisan budaya sendiri.

UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) memuat prinsip bahwa hak asasi manusia harus dilihat secara holistik bukan parsial sebab HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara hukun, Pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Oleh sebab itu perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia di bidang sosial politik hanya dapat berjalan dengan baik apabila hak yang lain di bidang ekonomi, sosial dan budaya serta hak solidaritas juga juga dilindungi dan dipenuhi, dan begitu pula sebaliknya. Dengan diratifikasinya konvenan Hak EKOSOB oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005, kewajiban Indonesia untuk melakukan pemenuhan dan jaminan-jaminan ekonomi, sosial dan budaya harus diwujudkan baik melalui aturan hukum ataupun melalui kebijakan-kebijakan pemerintah.

deklarasi ham

Menimbang bahwa pengakuan atas martabat alamiah dan hak-hak yang sama dan mutlak dari semua anggota keluarga manusia adalah dasar kemerdekaan, keadilan dan perdamaian di dunia,

Menimbang bahwa mengabaikan dan memandang rendah hak-hak asasi manusia telah mengakibatkan perbuatan-perbuatan bengis yang menyebabkan kemarahan hati nurani umat manusia, dan terbentuknya suatu dunia tempat manusia akan menikmati kebebasan
berbicara dan beragama serta kebebasan dari ketakutan dan kekurangan telah ini dinyatakan sebagai cita-cita tertinggi rakyat umum,

Menimbang
bahwa hak-hak asasi manusia perlu dilindungi oleh aturan hukum supaya orang tidak melakukan dengan terpaksa pemberontakan sebagai upaya terakhir menentang kelaliman dan penindasan,

Menimbang bahwa membangun hubungan persahabatanantara negara-negara perlu digalakkan,

Menimbang
bahwa bangsa-bangsa di Perserikatan Bangsa-Bangsa sekali lagi menegaskan kembali dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa kepercayaan mereka akan hak-hak dasar manusia, akan martabat dan nilai seseorang manusia dan hak-hak yang sama laki-laki dan perempuan dan telah bertekad menggalakkan kemajuan sosial dan taraf hidup yang lebih baik di dalam kemerdekaan yang lebih luas,

Menimbang bahwa Negara-Negara Anggota telah berjanji untuk mencapai kemajuan dalam penghargaan dan penghormatan umum hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan asasi, bekerjasama dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa,

Menimbang
bahwa pengertian umum tentang hak-hak dan kebebasan-kebebasan tersebut sangat penting untuk pelaksanaan yang sungguh-sungguh dari janji ini,

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia

Tidak banyak masyarakat kita tahu. Bahwa enam puluh dua tahun yang lalu, tepatnya 10 Desember 1948. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB/UN) memproklamasikan THE UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS. Sebuah deklarasi Hak Asasi Manusia dunia yang seharus diketahui dan dipahami oleh setiap warga negara yang menghimpun diri dalam organisasi PBB/UN.

Meskipun dianjurkan disebarluaskan dan dipelajari pada sekolah maupun lembaga pendidikan. Dalam prakteknya teks deklarasi ini tidak pernah sampai ketangan saya, baik saat masih menjadi siswa maupun mahasiswa. Saya tidak tahu apakah karena saya sekolah saat dibawah rezim otoritarianisme?, ataukah para pendidik saya merasa bahwa deklarasi ini tidak penting untuk diketahui?. Tetapi demi mengoreksi kesalahan sejarah, maka saya coba sampaikan saja deklarasi dalam bahasa Inggris dan Indonesia melalui blog sederhana ini. Semoga berguna.

DEKLARASI UNIVERSAL HAK ASASI MANUSIA
Mukadimah
Menimbang bahwa pengakuan atas martabat alamiah dan hak-hak yang sama dan mutlak dari semua anggota keluarga manusia adalah dasar kemerdekaan, keadilan dan perdamaian di dunia,
Menimbang bahwa mengabaikan dan memandang rendah hak-hak asasi manusia telah mengakibatkan perbuatan-perbuatan bengis yang menimbulkan rasa kemarahan hati nurani umat manusia, dan terbentuknya suatu dunia tempat manusia akan mengecap kenikmatan kebebasan berbicara dan beragama serta kebebasan dari ketakutan dan kekurangan telah dinyatakan sebagai cita-cita tertinggi dari rakyat biasa,
Menimbang bahwa hak-hak asasi manusia perlu dilindungi oleh peraturan hukum supaya orang tidak akan terpaksa memilih pemberontakan sebagai usaha terakhir guna menentang kelaliman dan penindasan,
Menimbang bahwa pembangunan hubungan persahabatan antara negara-negara perlu digalakkan,
Menimbang bahwa bangsa-bangsa dari Perserikatan Bangsa-Bangsa sekali lagi telah menyatakan di dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa kepercayaan mereka akan hak-hak dasar dari manusia, akan martabat dan nilai seseorang manusia dan akan hak-hak yang sama dari pria maupun wanita, dan telah bertekad untuk menggalakkan kemajuan sosial dan taraf hidup yang lebih baik di dalam kemerdekaan yang lebih luas,
Menimbang bahwa Negara-Negara Anggota telah berjanji untuk mencapai kemajuan dalam penghargaan dan penghormatan umum terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan asasi, dengan bekerjasama dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa,
Menimbang bahwa pengertian umum tentang hak-hak dan kebebasan-kebebasan tersebut sangat penting untuk pelaksanaan yang sungguh-sungguh dari janji ini,
Maka Majelis Umum dengan ini memproklamasikan Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia sebagai satu standar umum keberhasilan untuk semua bangsa dan semua negara, dengan tujuan agar setiap orang dan setiap badan dalam masyarakat dengan senantiasa mengingat Pernyataan ini, akan berusaha dengan jalan mengajar dan mendidik untuk menggalakkan penghargaan terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan tersebut, dan dengan jalan tindakan-tindakan progresif yang bersifat nasional maupun internasional, menjamin pengakuan dan penghormatannya secara universal dan efektif, baik oleh bangsa-bangsa dari Negara-Negara Anggota sendiri maupun oleh bangsa-bangsa dari daerah-daerah yang berada di bawah kekuasaan hukum mereka.

Pasal 1
Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam semangat persaudaraan.

Pasal 2
Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam Pernyataan ini tanpa perkecualian apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat yang berlainan, asal mula kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain. Di samping itu, tidak diperbolehkan melakukan perbedaan atas dasar kedudukan politik, hukum atau kedudukan internasional dari negara atau daerah dari mana seseorang berasal, baik dari negara yang merdeka, yang berbentuk wilayah-wilayah perwalian, jajahan atau yang berada di bawah batasan kedaulatan yang lain.

ham dan kebebasan beragama

Kebebasan beragama merupakan bagian integral dari hak asasi manusia (HAM). Karena itu, tidak heran kalau hal kebebasan beragama menjadi bagian penting dari Dialog HAM kelima antara Indonesia dan Norwegia yang diselenggarakan di Jakarta 26-28 April 2005 lalu. Menyampaikan makalah tentang ‘HAM dan Kebebasan Beragama: Perspektif Muslim” pada sesi pertama bersama Dr Tore Lindholm, Universitas Oslo, saya melihat adanya perbedaan perspektif, wacana, dan praktik HAM di Indonesia dan Norwegia --atau bahkan negara Eropa dan Barat umumnya. Memang, terdapat prinsip-prinsip HAM yang universal; sama dengan adanya perspektif Islam universal tentang HAM (huqul al-insan), yang dalam banyak hal kompatibel dengan Deklarasi Universal HAM (DUHAM). Tetapi juga harus diakui, terdapat upaya-upaya di kalangan sarjana Muslim dan negara Islam di Timur Tengah untuk lebih mengontekstualisasikan DUHAM dengan interpretasi tertentu dalam Islam dan bahkan dengan lingkungan sosial dan budaya masyarakat-masyarakat Muslim tertentu pula. Terdapat kecenderungan umum di kalangan Muslim-khususnya di Timur Tengah --untuk lebih menekankan hak-hak Tuhan (huquq Allah) dan hak-hak publik (huquq al-adami) di atas hak-hak personal/individual (huquq al-`abd).
Penekanan seperti ini, jelas merupakan kontrawacana atas penekanan yang terlalu besar pada hak-hak personal-individual di Barat umumnya, sehingga menimbulkan ekses-ekses tertentu dalam kehidupan publik. Lebih dari itu, kalangan Muslim yang terlibat dalam wacana seperti ini juga cenderung berpendapat bahwa DUHAM lebih memprioritaskan hak daripada kewajiban. Bagi mereka, harus terdapat keseimbangan antara keduanya.
Berdasarkan wacana dan pandangan seperti itu, Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada 5 Agustus 1990 mengeluarkan deklarasi tentang HAM dari perspektif Islam. Deklarasi yang juga dikenal sebagai “Deklarasi Kairo” mengandung prinsip dan ketentuan tentang HAM berdasarkan syari’ah. Masalahnya, banyak negara Muslim, seperti Indonesia, tidak menerapkan syari’ah sebagai hukum positif nasional; dan karena itu, Deklarasi Kairo tidak menjadi wacana penting dalam HAM dan kebebasan beragama di negara-negara Muslim yang tidak menerapkan syari’ah.
Perbedaan dasar pikiran dan perspektif juga terlihat dalam hal kebebasan beragama. Indonesia, sebagaimana terlihat dalam Pancasila yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945 dan pasal 29 UUD 1945, menjamin kebebasan beragama. Indonesia bukan negara agama (persisnya teokrasi Islam), dan Islam juga bukan merupakan agama resmi negara, meski lebih dari 87 persen penduduk Indonesia memeluk Islam. Sebaliknya, kini ada enam agama yang diakui negara setelah Konfusianisme belum lama ini juga diakui pemerintah. Sebelumnya ada lima agama yang diakui negara: Islam, Katolik, Prostestan, Hindu, dan Budha.
Persoalan yang muncul dari peserta pada sesi pleno dan lokakarya lanjutan tentang kebebasan beragama di Indonesia adalah mengapa Indonesia hanya membebaskan warga negaranya untuk memeluk agama; mengapa tidak ada kebebasan untuk tidak beragama alias menjadi ‘ateis’. Pertanyaan ini tidak mudah dijawab, meski saya yakin pada realitasnya ada warga negara Indonesia yang ateis, atau tidak beragama atau memeluk agama di luar enam agama resmi. Yang jelas sila pertama Pancasila menyatakan, negara Indonesia berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Jika kebebasan beragama juga mencakup kebebasan untuk tidak beragama, maka niscayalah sila pertama Pancasila perlu didiskusikan kembali.
Masalah kedua tentang kebebasan beragama di Indonesia adalah menyangkut aliran dan paham keagamaan yang menyempal (splinter) dari mainstream agama tertentu, seperti Ahmadiyah misalnya. Yang dipersoalkan banyak peserta konferensi adalah jika Indonesia menganut kebebasan beragama, kenapa warga negara pengikut aliran-aliran seperti itu tidak mendapat perlindungan dari negara; ketika kalangan mainstream melakukan penyerangan terhadap mereka dan sekaligus perusakan terhadap rumah ibadah dan tempat kediaman mereka, aparat keamanan seolah-olah tidak melindungi mereka.
Adanya masalah-masalah tertentu dalam kebebasan beragama tidak hanya dihadapi Indonesia. Di Norwegia, misalnya, sampai sekarang menurut ketentuan perundangan yang berlaku, setiap pagi murid-murid sekolah, termasuk Muslim dan lain-lain, harus berdoa secara Kristen Lutheran. Hal seperti ini --yang saya kira bisa ditemukan bukan hanya di Norwegia, tapi juga di negara-negara lain, dan bahkan di sekolah-sekolah Kristen di mana-mana-- jelas tidak sesuai dengan prinsip HAM dan kebebasan beragama. Begitu juga Undang-undang Penodaan Agama (Blasphemy Laws) yang baru mencakup agama Kristen (dan juga agama Yahudi, di beberapa negara Eropa lainnya), tidak agama Islam. Karena itu, diskusi tentang HAM dan kebebasan beragama masih perlu mengkaji hal-hal seperti ini.

pelaksanaan demokrasi

 Berdasarkan UUD 1945 Indonesia adalah negara demokrasi. Sebenarnya apa yang dimaksud demokrasi itu? Demokrasi itu adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahansuatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintahnegara tersebut. Pemerintahan oleh rakyat dimana kekuasaan tertinggi berada di tangan akyat dan dijalankan pleh mereka atau wakil – wakil mereka yang mereka pilih dalam pemilihan yang bebas. Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politicayang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutifyudikatifdan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.
Indonesia setidaknya telah melalui empat masa demokrasi dengan berbagai versi. Pertama adalah demokrasi liberal dimasa kemerdekaan. Kedua adalah demokrasi terpimpin, ketika Presiden Soekarno membubarkan konstituante dan mendeklarasikandemokrasi terpimpin. Ketiga adalah demokrasi Pancasila yang dimulai sejak pemerintahan Presiden Soeharto. Keempat adalah demokrasi yang saat ini masih dalam masa transisi.
Kelebihan dan kekurangan pada masing-masing masa demokrasi tersebut pada dasarnya bisa memberikan pelajaran berharga bagi kita. Demokrasi liberal ternyata pada saat itu belum bisa memberikan perubahan yang berarti bagi Indonesia. Namun demikian, berbagai kabinet yang jatuh-bangun pada masa itu telah memperlihatkan berbagai ragam pribadi beserta pemikiran mereka yang cemerlang dalam memimpin namun mudah dijatuhkan oleh parlemen dengan mosi tidak percaya. Sementara demokrasi terpimpin yang dideklarasikan oleh Soekarno (setelah melihat terlalu lamanya konstituante mengeluarkan undang-undang dasar baru) telah memperkuat posisi Soekarno secara absolut. Di satu sisi, hal ini berdampak pada kewibawaan Indonesia di forum Internasional yang diperlihatkan oleh berbagai manuver yang dilakukan Soekarno serta munculnya Indonesia sebagai salah satu kekuatan militer yang patut diperhitungkan di Asia. Namun pada sisi lain segi ekonomi rakyat kurang terperhatikan akibat berbagai kebijakan politik pada masa itu.
Lain pula dengan masa demokrasi Pancasila pada kepemimpinan Soeharto. Stabilitas keamanan sangat dijaga sehingga terjadi pemasungan kebebasan berbicara. Namun tingkat kehidupan ekonomi rakyat relatif baik. Hal ini juga tidak terlepas dari sistem nilai tukar dan alokasi subsidi BBM sehingga harga-harga barang dan jasa berada pada titik keterjangkauan masyarakat secara umum. Namun demikian penyakit korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) semakin parah menjangkiti pemerintahan. Lembaga pemerintahan yang ada di legislatif, eksekutif dan yudikatif terkena virus KKN ini. Selain itu, pemasungan kebebasan berbicara ternyata menjadi bola salju yang semakin membesar yang siap meledak. Bom waktu ini telah terakumulasi sekian lama dan ledakannya terjadi pada bulan Mei 1998.
Selepas kejatuhan Soeharto, selain terjadinya kenaikan harga barang dan jasa beberapa kali dalam kurun waktu 8 tahun terakhir, instabilitas keamanan dan politik serta KKN bersamaan terjadi sehingga yang paling terkena dampaknya adalah rakyat kecil yang jumlahnya mayoritas dan menyebabkan posisi tawar Indonesia sangat lemah di mata  internasional akibat tidak adanya kepemimpinan yang kuat.
Namun demikian, demokratisasi yang sedang berjalan di Indonesia memperlihatkan beberapa kemajuan dibandingkan masa-masa sebelumnya. Pemilihan umum dengan diikuti banyak partai adalah sebuah kemajuan yang harus dicatat. Disamping itu pemilihan presiden secara langsung yang juga diikuti oleh pemilihan kepala daerah secara langsung adalah kemajuan lain dalam tahapan demokratisasi di Indonesia. Diluar hal tersebut, kebebasan mengeluarkan pendapat dan menyampaikan aspirasi di masyarakat juga semakin meningkat. Para kaum tertindas mampu menyuarakan keluhan mereka di depan publik sehingga masalah-masalah yang selama ini terpendam dapat diketahui oleh publik. Pemerintah pun sangat mudah dikritik bila terlihat melakukan penyimpangan dan bisa diajukan ke pengadilan bila terbukti melakukan kesalahan dalam mengambil suatu kebijakan publik.
Bisa dikatakan bahwa Indonesia sangat berpotensi menjadi kiblat demokrasi di kawasan Asia, berkat keberhasilan mengembangkan dan melaksanakan sistem demokrasi. Keberhasilan Indonesia dalam bidang demokrasi bisa menjadi contoh bagi negara-negara di kawasan Asia yang hingga saat ini beberapa di antaranya masih diperintah dengan ‘tangan besi’. Indonesia juga bisa menjadi contoh, bahwa pembangunan sistem demokrasi dapat berjalan seiring dengan upaya pembangunan ekonomi. Keberhasilan Indonesia dalam bidang demokrasi yang tidak banyak disadari itu, membuat pihak luar, membuka mata bangsa Indonesia, bahwa keberhasilan tersebut merupakan sebuah prestasi yang luar biasa. Prestasi tersebut juga menjadikan Indonesia sangat berpotensi mengantar datangnya suatu era baru di Asia yang demokratis dan makmur.
Demokrasi di Indonesia saat ini telah berusia 10 tahun dan akan terus berkembang. Sebagian orang pernah berpendapat bahwa demokrasi tidak akan berlangsung lama di Indonesia, karena masyarakatnya belum siap. Mereka juga pernah mengatakan bahwa negara Indonesia terlalu besar dan memiliki persoalan yang kompleks. Keraguan tersebut bahkan menyerupai kekhawatiran yang dapat membuat Indonesia chaos yang dapat mengakibatkan perpecahan. demokrasi telah berjalan baik di Indonesia dan hal itu telah menjadikan Indonesia sebagai negara dengan populasi 4 besar dunia yang berhasil melaksanakan demokrasi. Hal ini juga membuat Indonesia sebagai negara berpenduduk Islam terbesar di dunia yang telah berhasil menerapkan demokrasi

negara dan warga negara

Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, yang dimaksud dengan Warga Negara Indonesia (WNI) adalah:
  1. Setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain sebelum undang-undang ini berlaku sudah menjadi Warga Negara Indonesia.
  2. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia.
  3. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Indonesia dan ibu Warga Negara Asing.
  4. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Asing dan ibu Warga Negara Indonesia.
  5. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia, tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut.
  6. Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya Warga Negara Indonesia.
  7. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia.
  8. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin.
  9. Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya.
  10. Anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui.
  11. Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya.
  12. Anak yang dilahirkan di luar wilayah negara Republik Indonesia dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan.
  13. Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.

hak dan kewajiban

Sebagai warga negara yang baik kita wajib membina dan melaksanakan hak dan kewajiban kita dengan tertib. Hak dan kewajiban warga negara diatur dalam UUD 1945 yang meliputi.
a. Hak dan kewajiban dalam bidang politik
• Pasal 27 ayat (1) menyatakan, bahwa “Tiap-tiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemeritahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Pasal ini menyatakan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban, yaitu:
1. Hak untuk diperlakukan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan.
2. Kewajiban menjunjung hukum dan pemerintahan.

• Pasal 28 menyatakan, bahwa “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Arti pesannya adalah:
1. Hak berserikat dan berkumpul.
2. Hak mengeluarkan pikiran (berpendapat).
3. Kewajiban untuk memiliki kemampuan beroganisasi dan melaksanakan aturan-aturan lainnya, di antaranya: Semua organisasi harus berdasarkan Pancasila sebagai azasnya, semua media pers dalam mengeluarkan pikiran (pembuatannya selain bebas harus pula bertanggung jawab dan sebagainya)
b. Hak dan kewajiban dalam bidang sosial budaya
• Pasal 31 ayat (1) menyatakan, bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran”.
• Pasal 31 ayat (2) menyatakan bahwa “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistim pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang”.
• Pasal 32 menyatakan bahwa “Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia”.
Arti pesan yang terkandung adalah:
1. Hak memperoleh kesempatan pendidikan pada segala tingkat, baik umum maupun kejuruan.
2. Hak menikmati dan mengembangkan kebudayaan nasional dan daerah.
3. Kewajiban mematuhi peraturan-peraturan dalam bidang kependidikan.
4. Kewajiban memelihara alat-alat sekolah, kebersihan dan ketertibannya.
5. Kewajiban ikut menanggung biaya pendidikan.
6. Kewajiban memelihara kebudayaan nasional dan daerah.

Selain dinyatakan oleh pasal 31 dan 32, Hak dan Kewajiban warga negara tertuang pula pada pasal 29 ayat (2) yang menyatakan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Arti pesannya adalah:
7. Hak untuk mengembangkan dan menyempurnakan hidup moral keagamaannya, sehingga di samping kehidupan materiil juga kehidupan spiritualnya terpelihara dengan baik.
8. Kewajiban untuk percaya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
c. Hak dan kewajiban dalam bidang Hankam
• Pasal 30 menyatakan, bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara”. Arti pesannya:
o bahwa setiap warga negara berhak dan wajib dalam usaha pembelaan negara.
d Hak dan kewajiban dalam bidang Ekonomi
• Pasal 33 ayat (1), menyatakan, bahwa “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan”.
• Pasal 33 ayat (2), menyatakan bahwa “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”.
• Pasal 33 ayat (3), menyatakan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
• Pasal 34 menyatakan bahwa “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”.
Arti pesannya adalah:
1. Hak memperoleh jaminan kesejahteraan ekonomi, misalnya dengan tersedianya barang dan jasa keperluan hidup yang terjangkau oleh daya beli rakyat.
2. Hak dipelihara oleh negara untuk fakir miskin dan anak-anak terlantar.
3. Kewajiban bekerja keras dan terarah untuk menggali dan mengolah berbagai sumber daya alam.
4. Kewajiban dalam mengembangkan kehidupan ekonomi yang berazaskan kekeluargaan, tidak merugikan kepentingan orang lain.
5. Kewajiban membantu negara dalam pembangunan misalnya membayar pajak tepat waktu.

HAM dalam UUD 1945 dan pelaksanaannya

HAM Menurut Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945
Hak asasi manusia pada prinsipnya merupakan hak yang universal, akan tetapi dalam pelaksanaannya di masing – masing negara disesuaikan dengan kondisi politik dan social budaya masing – masing negara. Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat memiliki Ideologi Pancasila dan Konstitusi UUD 1945 yang menjadi batasan sekaligus berisi pengakuan terhadap hak asasi manusia.
Seberapa jauh nilai – nilai hak asasi manusia terkandung dalam Pancasila dan UUD 19456 dapat dijadikan barometer Negara Kesatuan RepublikIndonesia telah mengakuai dan menghargai hak asasi manusia. Hal ini mengingat Piagam PBB yang memuat pengakuan dan perlindungan HAM baru lahir pada tahun 1948 sesudah lahirnya NKRI pada tahun 1945.
Hubungan HAM dan UUD 1945
Meskipun tidak diatur secara khusus ketentuan tentang HAM pada UUD 1945 sebelum amandemen ke dua, bukan berarti dalam UUD 1945 tidak mengakomodir ketentuan tentang HAM. Jika dilihat dari lahirnya UUD 1945 lebih dulu lahir daripada Deklarasi HAM tahun 1948. Ketentuan yang berkaitan dengan HAM dapat dilihat sebagai berikut :
(1). Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Dengan demikian perlindungan diberikan kepada seluruh bangsa dan tumpah darah Indonesia, tidak hanya terbatas atau berdasarkan kepentingan kelompok atau warga Negara tertentu.
(2). Memajukan kesejahteraan umum, hal ini mengandung pengertian pembangunan kesejahteraan secara merata dan setiap warga Negara punya kesempatan untuk sejahtera.
(3). Mencerdaskan kehidupan bangsa, guna untuk meningkatkan sumberdaya manusia Indonesia seluruhnya secara merata guna mengejar ketertinggalan dari bangsa lain.
(4). Melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social, membangun bangsa yang mandiri serta kewajiban untuk menyumbangkan pada bangsa – bangsa lain di dunia, tanpa perbedaan.
(5). Dalam penjelasan pembukaan UUD 1945 dikatakan bahwa Indonesia adalah Negara berdasarkan hukum (rechtsstaat bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka/machtsstaat). Kaitannya dengan HAM adalah salah satu cirri Negara hokum adalah mengakui adanya HAM. Selanjutnya dalam penjelasan umum diterangkan bahwa UUD menciptakan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam “pembukaan” dan pasal – pasalnya, dimana mengandung arti bahwa Negara mengatasi segala paham golongan, dan paham perorangan, mewujudkan keadilan social berdasarkan kerakyatan perwakilan dan Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Hal ini mencerminkan cita – cita hokum bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi HAM serta lebih mengutamakan kepentingan bersama manusia.
Berdasarkan uraian tersebut diatas maka hubungan HAM dengan UUD 1945 dapat diterjemahkan dalam moral bangsa sebagai berikut :
(a). Kebijaksanaan harus diarahkan pada kebijaksanaan politik dan hokum, dengan perlakuan serta hak dan kewajiban yang sama bagi siapapun, perorangan atau kelompok yang berada di dalam batas wilayah NKRI.
(b). Kebijaksanaan Ekonomi dan Kesejahteraan, dengan kesempatan serta beban tanggungjawab yang sama, bagi siapapun yang ingin berusaha atas dasar persaiangan yang sehat.
(c). Kebijaksanaan Pendidikan dan Kebudayaan, dengan kebebasan serta batasan – batasan yang perlu menjaga ketahanan dan pertahanan mental terhadap anasir dan eksploitasi dari dalam dan luar negeri.
(d). Kebijaksanaan luar negeri, meningkatkan kehormatan bangsa yang merdeka yang bias mengatur diri sendiri, serta mampu menyumbang pada hubungan baik antara bangsa – bangsa di dunia.
Selanjutnya dalam UUD 1945 terdapat pasal – pasal yang berkaitan dengan masalah – masalah HAM, pasal – pasal tersebut adalah :
a). Pasal 27, tentang kesamaan kedudukan hokum dan pemerintahan, tanpa ada kecuali serta setiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan
b). Pasal 28, tentang kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan
c). Pasal 29, tentang kemerdekaan untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
d). Pasal 30, tentang hak untuk membela bangsa
e). Pasal 31, tentang hak mendapat pengajaran
f). Pasal 33, tentang hak perekonomian atas asas kekeluargaan
g). Pasal 34, tentang fakir miskin dan anak – anak terlantar dipelihara oleh Negara.
Dalam perkembangannya sesuai dengan amandemen kedua UUD 1945 berdasarkan siding tahunan tahun 2000, masalah hak asasi manusia secara lugas telah dicantumkan dalam BAB XA, Pasal 28A sampai dengan 28J.
Dari uraian tersebut diatas maka UUD 1945 mulai dari pembukaan, penjelasan umum, dan batang tubuh cukup memuat tentang pengakuan hak asasi manusia, atau dengan kata lain secara yuridis konstitusional, Indonesia mengakui HAM jauh sebelum lahirnya Universal Declaration of Human Right.
PELANGGARAN  HAM
Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok termasuk aparat negara, baik disengaja ataupun tidak, atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi atau mencabut HAM yang telah dijamin oleh undang-undang, dan tidak didapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar. Pelanggaran HAM tergolong berat, baik berupa kejahatan genosida dan kemanusiaan. Sedangkan pelanggaran selain dari keduanya tergolong ringan.
Untuk menyikapi kejahatan dan pelanggaran HAM, berdasarkan hukum internasional dapat digunakan retroaktif, diberlakukan pasal tentang kewajiban untuk tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dalam undang-undang, seperti tercantum dalam pasal 28 J ayat 2 UUD 1945.
Contoh atau bukti pelanggaran HAM
Tragedi Tanjung Priok
Tragedi ini terjadi pada September 1984. Saat itu hampir tengah malam, tiga orang juru dakwah, Amir Biki, Syarifin Maloko dan M. Nasir berpidato berapi-api di jalan Sindang Raya, Priok.
Mereka menuntut pembebasan empat pemuda jamaah Mushala As-Sa’adah yang ditangkap petugas Kodim
Jakarta Utara.
Empat pemuda itu digaruk tentara karena membakar sepeda motor Sertu Hermanu. Anggota Babinsa Koja Selatan itu hampir saja dihajar massa jika tak dicegah oleh seorang tokoh masyarakat di sana.
Ketika itu, 7 September 1984, Hermanu melihat poster ”Agar para wanita memakai pakaian jilbab.’ Dia meminta agar poster itu dicopot.
Tapi para remaja masjid itu menolak. Esoknya Hermanu datang lagi, menghapus poster itu dengan koran yang dicelup air got. Melihat itu, massa berkerumun, tapi Hermanu sudah pergi. Maka beredarlah desas-desus ‘ada sersan masuk mushola tanpa buka sepatu dan mengotorinya.’ Massa
rupanya termakan isu itu. Terjadilah pembakaran sepeda motor itu.
Maka, pengurus Musholla pun meminta bantuan Amir Biki, seorang tokoh di sana agar membebaskan empat pemuda yang ditahan Kodim itu. Tapi ia gagal, dan berang. Ia lantas mengumpulkan massa di
jalan Sindang Raya dan bersama-sama pembicara lain, menyerang pemerintah. Biki dengan mengacungkan badik, antara lain mengancam RUU Keormasan.
Pembicara lain, seperti Syarifin Maloko, M. Natsir dan Yayan, mengecam Pancasila dan dominasi Cina atas perekonomian Indonesia. Di akhir pidatonya yang meledak-ledak, Biki pun mengancam, ”akan menggerakkan massa bila empat pemuda yang ditahan tidak dibebaskan.” Ia memberi batas
waktu pukul 23.00. Tapi sampai batas waktu itu, empat pemuda tidak juga dibebaskan.
Maka, Biki pun menggerakkan massa. Mereka dibagi dua; kelompok pertama menyerang Kodim. Kelompok kedua menyerang toko-toko Cina. Bergeraklah dua sampai tiga ribu massa ke Kodim di jalan Yos
Sudarso, berjarak 1,5 Km dari tempat pengerahan massa.
Biki berjalan di depan. Tapi di tengah jalan, depan Polres Jakarta Utara, mereka dihadang petugas. Mereka tak mau bubar. Bahkan tak mempedulikan tembakan peringatan. Mereka maju terus,
menurut versi tentara, sambil mengacung-acungkan golok dan celurit.
Masih menurut sumber resmi TNI, Biki kemudian berteriak, Maju…serbu…’ dan massa pun menghambur. Tembakan muntah menghabiskan banyak sekali nyawa. Biki sendiri tewas saat itu juga.
Keterangan resmi pemerintah korban yang mati hanya 28 orang. Tapi dari pihak korban menyebutkan sekitar tujuh ratus jamaah tewas dalam tragedi itu. Setelah itu, beberapa tokoh yang dinilai terlibat dalam peristiwa itu ditangkapi; Qodir Djaelani, Tony Ardy, Mawardi Noor, Oesmany Al
Hamidy. Ceramah-ceramah mereka setahun sebelumnya terkenal keras; menyerang kristenisasi, penggusuran, Asaa Tunggal Pancasila, Pembatasan Izin Dakwah, KB, dan dominasi ekonomi oleh Cina.
Empat belas jam setelah peristiwa itu, Pangkopkamtib LB Moerdani didampingi Harmoko sebagai Menpen dan Try Sutrisno sebagai Pangdam Jaya memberikan penjelasan pers. Saat itu Benny menyatakan telah terjadi penyerbuan oleh massa Islam di pimpin oleh Biki, Maloko dan M. Natsir. Sembilan korban tewas dan 53 luka-luka, kata Benny.
PELAKSANAAN HAM
Pelaksanaan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia baru pada tahap
kebijakan belum menjadi bagian dari sendi-sendi dasar kehidupan
berbangsa untuk menjadi faktor integrasi atau persatuan. Problem dasar
HAM yaitu penghargaan terhadap martabat dan privasi warga negara
sebagai pribadi juga belum ditempatkan sebagaimana mestinya.Demikian
disampaikan Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
Marzuki Darusman da-lam diskusi yang diselenggarakan Forum Diskusi
Wartawan Politik (FDWP) di Wisma Surabaya Post Jakarta, Sabtu (23/8).
Dalam diskusi itu diperbincangkan masalah hak asasi, politik dan
demokrasi di Indonesia termasuk hubungan Komnas HAM dan pemerintah.
“Pelaksanaan HAM di kita masih maju mundur. Namun itu tidak menjadi
soal karena dalam proses,” kata Marzuki. Padahal jika melihat sisi
historis, kata Marzuki, HAM di Indonesia beranjak dari amanat
penderitaan rakyat untuk mewujudkan kemerdekaan dari penjajah. Begitu
pula seperti tercermin dari Sila Kemanusiaan yang berpangkal dari
falsafah kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam diskusi dipersoalkan bagaimana sebenarnya posisi pemerintah
untuk melaksanakan HAM secara tulus. Menurut mantan anggota F-KP DPR
itu, di luar negeri bidang-bidang politik, ekonomi selalu dihubungkan
dengan masalah HAM. “Makanya mereka mau berisiko demi HAM ini. HAM
sudah menyatu,” katanya.
Sedangkan di Indonesia, HAM baru merupakan satu kebijakan belum
merupakan bagian dari sendi-sendi dasar dari kehidupan berbangsa.
Marzuki mengatakan, sebenarnya HAM bisa menjadi faktor integrasi atau
pemersatu bangsa.
Marzuki menganalogikan pelaksanaan HAM di Indonesia dengan pemahaman
masyarakat terhadap lingkungan hidup 10-20 tahun lalu. Lingkungan
hidup yang saat itu masih menjadi isu internasional sekarang sudah
menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat dan pemerintah.
“Saat ini, lingkungan hidup sudah menjadi kesadaran nasional,”
katanya. Masalah lingkungan hidup tidak hanya menjadi kebijakan
nasional namun sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan.
“Hal seperti itulah yang saat ini sedang ditempuh oleh HAM,” katanya.
Konstelasi politik
Kondisi HAM di Indonesia menghadapi dua hal dinamis yang terjadi yaitu
realitas empiris di mana masyarakat semakin sadar HAM serta kondisi
politik.
Soal hubungan Komnas HAM dengan pemerintah, Marzuki mengatakan, bagian
terbesar dari rekomendasi Komnas HAM terutama kepada pemerintah
daerah/gubernur, 60 persen di antaranya mendapat respon yang
konstruktif. Persoalan muncul jika kasusnya bermuatan politik, seperti
Kasus Marsinah atau Kerusuhan 27 Juli. “Perlu ada pelurusan terhadap
gambaran masyarakat soal hu-bungan pemerintah dan Komnas HAM,”
katanya. Marzuki mendengar jika ada persepsi di masyarakat bahwa
rekomendasi Komnas HAM tidak dilaksanakan oleh pemerintah.
“Kondisi ideal HAM adalah kondisi demokratis,” kata Marzuki. Kesadaran
akan HAM maupun pelaksanaannya hanya mungkin jika ada pembaharuan
politik.
Dalam beberapa persoalan Marzuki melihat sikap kalangan pemerintah
maupun ABRI terhadap masalah HAM tergantung konstelasi politik yang
terjadi, bukan pada pemahaman HAM sebenarnya. Misalnya komentar
tentang Kerusuhan 27 Juli, satu pihak mengatakan bahwa kasus tersebut
sudah selesai, namun yang lainnya mengatakan bahwa langkah-langkah
Megawati Soekarnoputri konstitusional.
Dia mengedepankan persoalan HAM di Indonesia dengan satu contoh yakni
penggunaan istilah yang berkonotasi politik terhadap seseorang yang
menyentuh martabat atau privasinya. Istilah gembong, oknum atau otak
terutama dalam kerangka kasus-kasus subversif menjadi biasa digunakan
oleh masyarakat menjadi sesuatu yang normal. “Padahal itu menyentuh
HAM, seseorang digambarkan dengan istilah-istilah,” katanya.
Komnas HAM sebenarnya menganut prinsip HAM universal dengan dasar
Piagam PBB, Deklarasi HAM serta Pancasila sebagai falsafah politik dan
konsitusi UUD ‘45. “Paham HAM universal itu harus disesuaikan dengan
nilai budaya yang berlaku,” katanya.
Namun kurangnya pemahaman HAM atau karena kepentingan politik
seringkali disebut-sebut “HAM di Indonesia sebagai HAM yang khas yang
berbeda dengan HAM universal”. “Itu tidak benar. Tidak berarti kita
punya prinsip HAM sendiri,” kata mantan Sekjen Pemuda ASEAN tersebut.
Yang benar, HAM universal justru harus diimplementasikan dalam
masyarakat dan peka terhadap nilai-nilai budaya setempat. “Coba cari
HAM khas Indonesia yang tidak ada di HAM universal. Tidak ada,”
katanya.
Marzuki menilai persoalan antara HAM universal dan HAM kultural malah
menjadi perdebatan semu. Padahal sebenarnya itu hanya merupakan
mekanisme defensif untuk menghadapi tekanan luar.

HAM (Hak Asasi Manusia)

HAM Menurut Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945
Hak asasi manusia pada prinsipnya merupakan hak yang universal, akan tetapi dalam pelaksanaannya di masing – masing negara disesuaikan dengan kondisi politik dan social budaya masing – masing negara.Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat memiliki Ideologi Pancasila dan Konstitusi UUD 1945 yang menjadi batasan sekaligus berisi pengakuan terhadap hak asasi manusia.
Seberapa jauh nilai – nilai hak asasi manusia terkandung dalam Pancasila dan UUD 19456 dapat dijadikan barometer Negara Kesatuan RepublikIndonesia telah mengakuai dan menghargai hak asasi manusia. Hal ini mengingat Piagam PBB yang memuat pengakuan dan perlindungan HAM baru lahir pada tahun 1948 sesudah lahirnya NKRI pada tahun 1945.
a. Hubungan HAM dengan Pancasila
Dari kelima sila yang diamanatkan dalam Pancasila dapat diuraikan hubungan antara HAM dengan Pancasila sebagai berikut :
1). Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa
Sila tersebut mengamanatkan bahwa setiap warga negara bebas untuk memeluk agama dan kepercayaannya masing – masing. Hal ini selaras dengan Deklarasi Universal tentang HAM ps 2 dimana terdapat perlindungan HAMdari adanya diskriminasi, atas dasar sex, warna kulit, ras, agama, bahasa politik atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan, rasial, kekayaan dan kelebihan ataupun statusnya.
2). Sila Kedua, Kemanusiaan yangAdil dan Beradab
Sila ini mengamanatkan adanya persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesame manusia sebagaimana tercantum dalam Deklarasi HAM PBByang melarang adanya diskriminasi.
3). Sila Ketiga, Persatuan Indonesia
Sila ini mengamanatkan adanya unsur pemersatu diantara warga Negara dengan semangat rela berkorban dan menempatkan kepentingan bangsa dan Negara diatas kepentingan pribadi atau golongan, hal ini sesuai dengan Prinsip HAM dimana hendaknya sesame manusia bergaul satu sama lainnya dalam semangat persaudaraan.
4). Sila Keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan.
Inti dari sila ini adalah musyawarah dan mufakat dalam setiap penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan sehingga setiap orang tidak dibenarkan untuk mengambil tindakan sendiri, atas inisiatif sendiri yang dapat mengganggu kebebasan orang lain. Hal ini sesuai pula dengan Deklarasi HAM.
5). Sila Kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Asas keadilan dalam HAM tercermin dalam sila ini, dimana keadilan disini ditujukan bagi kepentingan umum tidak ada pembedaan atau diskriminasi antar individu.
b). Hubungan HAM dan UUD 1945
Meskipun tidak diatur secara khusus ketentuan tentang HAM pada UUD 1945 sebelum amandemen ke dua, bukan berarti dalam UUD 1945 tidak mengakomodir ketentuan tentang HAM. Jika dilihat dari lahirnya UUD 1945 lebih dulu lahir daripada Deklarasi HAM tahun 1948. Ketentuan yang berkaitan dengan HAM dapat dilihat sebagai berikut :
(1). Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Dengan demikian perlindungan diberikan kepada seluruh bangsa dan tumpah darah Indonesia, tidak hanya terbatas atau berdasarkan kepentingan kelompok atau warga Negara tertentu.
(2). Memajukan kesejahteraan umum, hal ini mengandung pengertian pembangunan kesejahteraan secara merata dan setiap warga Negara punya kesempatan untuk sejahtera.
(3). Mencerdaskan kehidupan bangsa, guna untuk meningkatkan sumberdaya manusia Indonesia seluruhnya secara merata guna mengejar ketertinggalan dari bangsa lain.
(4). Melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social, membangun bangsa yang mandiri serta kewajiban untuk menyumbangkan pada bangsa – bangsa lain di dunia, tanpa perbedaan.
(5). Dalam penjelasan pembukaan UUD 1945 dikatakan bahwa Indonesia adalah Negara berdasarkan hukum (rechtsstaat bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka/machtsstaat). Kaitannya dengan HAM adalah salah satu cirri Negara hokum adalah mengakui adanya HAM. Selanjutnya dalam penjelasan umum diterangkan bahwa UUD menciptakan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam “pembukaan” dan pasal – pasalnya, dimana mengandung arti bahwa Negara mengatasi segala paham golongan, dan paham perorangan, mewujudkan keadilan social berdasarkan kerakyatan perwakilan dan Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Hal ini mencerminkan cita – cita hokum bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi HAM serta lebih mengutamakan kepentingan bersama manusia.
Berdasarkan uraian tersebut diatas maka hubungan HAM dengan UUD 1945 dapat diterjemahkan dalam moral bangsa sebagai berikut :
(a). Kebijaksanaan harus diarahkan pada kebijaksanaan politik dan hokum, dengan perlakuan serta hak dan kewajiban yang sama bagi siapapun, perorangan atau kelompok yang berada di dalam batas wilayah NKRI.
(b). Kebijaksanaan Ekonomi dan Kesejahteraan, dengan kesempatan serta beban tanggungjawab yang sama, bagi siapapun yang ingin berusaha atas dasar persaiangan yang sehat.
(c). Kebijaksanaan Pendidikan dan Kebudayaan, dengan kebebasan serta batasan – batasan yang perlu menjaga ketahanan dan pertahanan mental terhadap anasir dan eksploitasi dari dalam dan luar negeri.
(d). Kebijaksanaan luar negeri, meningkatkan kehormatan bangsa yang merdeka yang bias mengatur diri sendiri, serta mampu menyumbang pada hubungan baik antara bangsa – bangsa di dunia.
Selanjutnya dalam UUD 1945 terdapat pasal – pasal yang berkaitan dengan masalah – masalah HAM, pasal – pasal tersebut adalah :
a). Pasal 27, tentang kesamaan kedudukan hokum dan pemerintahan, tanpa ada kecuali serta setiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan
b). Pasal 28, tentang kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan
c). Pasal 29, tentang kemerdekaan untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
d). Pasal 30, tentang hak untuk membela bangsa
e). Pasal 31, tentang hak mendapat pengajaran
f). Pasal 33, tentang hak perekonomian atas asas kekeluargaan
g). Pasal 34, tentang fakir miskin dan anak – anak terlantar dipelihara oleh Negara.
Dalam perkembangannya sesuai dengan amandemen kedua UUD 1945 berdasarkan siding tahunan tahun 2000, masalah hak asasi manusia secara lugas telah dicantumkan dalam BAB XA, Pasal 28A sampai dengan 28J.
Dari uraian tersebut diatas maka UUD 1945 mulai dari pembukaan, penjelasan umum, dan batang tubuh cukup memuat tentang pengakuan hak asasi manusia, atau dengan kata lain secara yuridis konstitusional, Indonesia mengakui HAM jauh sebelum lahirnya Universal Declaration of Human Right.
Penghargaan dan Perlindungan Hukum HAM
Sebagaimana disebutkan pada bab sebelumnya bahwa NKRI sejak kelahirannya telah mengakui dan menghargai HAM. Permasalahannya HAM tidak cukup hanya diakui saja tetapi satu hak yang penting adalah adanya upaya perlindungan hokum yang diberikan oleh Negara sebagai wujud adanya upaya penegakan HAM.
Penegakan HAM selain diperlukan adanya instrument hokum juga diperlukan adanya lembaga – lembaga yang menangani pelanggaran – pelanggaran Hak Asasi Manusia khususnya kasus – kasus pelanggaran HAM berat yang dilakukan secara sistematis dan terorganisir, ditujukan terhadap penduduk sipil. Hal ini disebabkan untuk pelanggaran HAM biasa atau ringan telah ada lembaga peradilan yang menanganinya.
1). Instrumen HAM
Instrumen HAM Nasional yang ada saat ini utamanya adalah :
a). UUD 1945 khususnya amandemen II
b). TAP MPR No. XVIII/MPR/1998
c). UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
d). UU No. 7 tahun 1984 yang merupakan ratifikasi atas Konvensi Penghapusan segala Diskriminasi Terhadap Perempuan
e). Keppres No. 129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional HAM
f). Keppres No. 36 Tahun 1990, Ratifikasi atas Konvensi Hak Anak
g). UU No. 5 Tahun 1998, Ratifikasi atas Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Harkat dan Martabat Manusia.
h). UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
i). Keppres No. 181/1998, tentang Komnas Anti Kekerasan terhadap Perempuan
j). Keppres No. 61/2003, tentang Rencana Aksi HAM Indonesia
k). Keppres No. 52 Tahun 2004, tentang Komnas Lanjut Usia (Lansia)
l). UU No. 23 Tahun 2002, tentang Perlindungan Anak
m).UU No. 23 Tahun 2004, tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT).
Pada dasarnya, instrument – instrument utama HAM di Indonesia tersebut menggaris bawahi bahwa :
a.HAM merupakan hak – hak dan kebebasan dasar yang dimiliki oleh setiap orang
b.Negara berkewajiban dan bertanggungjawab untuk melindungi, memajukan, menegakkan dan memenuhi HAM, dilaksanakan oleh penyelenggara kekuasaan Negara pada semua tingkatan
c.Adanya kewajiban dasar antar manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara untuk menghormati HAM orang lain.
2). Hak – Hak Asasi Manusia yang Dilindungi
Sebagaimana disebutkan pada bab sebelumnya bahwa Pancasila dan UUD 1945 maknanya syarat dengan penghargaan dan perlindungan hukum Hak Asasi Manusia, selain itu ketetapan tentang penghormatan, penegakan dan penyebarluasan HAM juga termuat dalam TAP MPR No. XVII tahun 1998 tentang “Hak Asasi Manusia”. Berdasarkan konstitusi dan TAP MPR tersebut maka penghargaan dan perlindungan HAM secara lebih rinci dituangkan dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Dalam Undang – Undang No 39 Tahun 1999 dan UUD 1945 setelah di amandemen pada Bab XA pasal 28A sampai 28J minimal terdapat 10 Hak Asasi Manusia yang dilindungi, hak – hak tersebut adalah :
a.Hak untuk hidup
b.Hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan
c.Hak untuk mengembangkan diri
d.Hak memperoleh keadilan
e.Hak atas kebebasan pribadi
f.Hak atas rasa aman
g.Hak atas kesejahteraan
h.Hak turut erta dalam pemerintahan
i.Hak wanita
j.Hak anak

Tinjauan Hukum Humaniter Terhadap Pengadilan Ham Di Indonesia

mengadili kejahatan internasional tersebut hanya dimiliki oleh Pengadilan Pidana Intemasional Yugoslavia, Pengadilan Pidana Internasional Rwanda, dan Pengadilan Pidana Intemasional (International Ciminal Court) yang dibentuk berdasarkan Statuta Roma tahun 1998 dan mulai efektif bulan Juli tahun 2002. Pengadilan HAM di Indonesia merupakan pengadilan nasional pertama di dunia yang mempunyai kewenangan mengadili kejahatan internasional dan dilaksanakan oleh hakim-hakim Indonesia, oleh karena itu dunia internasional dengan seksama akan memperhatikan pelaksanaan peradilan yang dilakukan oleh para hakim Indonesia tersebut. Apabila dunia internasional menganggap Pengadilan HAM di Indonesia tidak mampu, tidak independen, tidak konsisten atau tidak sungguh-sungguh mengadili para pelaku kejahatan internasional, ada kemungkinan bahwa Pengadilan Pidana Internasional (International Criminal Court) yang baru akan mengambil alih pemeriksaaan dengan mengabaikan asas "ne bis in idem" seperti diatur dalam Pasal 20 Statuta Roma Pengadilan Pidana Internasional. Sehubungan hal tersebut diatas, diharapkan kepada para hakim Pengadilan HAM khususnya, dan kepada para pejabat lainnya yang terlibat, untuk melaksanakan togas peradilan dengan penuh kehati-hatian, menjaga independensinya dan selalu mau meningkatkan profesionalisme dan integritas.

hak dan kewajiban


. Hak dan Kewajiban
Berikut ini adalah beberapa contoh hak dan kewajiban kita sebagai rakyat Indonesia. Setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama satu sama lain tanpa terkecuali. Persamaaan antara manusia selalu dijunjung tinggi untuk menghindari berbagai kecemburuan sosial yang dapat memicu berbagai permasalahan di kemudian hari.
Namun biasanya bagi yang memiliki banyak uang atau tajir bisa memiliki tambahan hak dan pengurangan kewajiban sebagai warga negara kesatuan republik Indonesia.
A. Contoh Hak Warga Negara Indonesia
  1. Setiap warga negara berhak mendapatkan perlindungan hukum
  2. Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
  3. Setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di mata hukum dan di dalam pemerintahan
  4. Setiap warga negara bebas untuk memilih, memeluk dan menjalankan agama dan kepercayaan masing-masing yang dipercayai
  5. Setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran
  6. Setiap warga negara berhak mempertahankan wilayah negara kesatuan Indonesia atau nkri dari serangan musuh
  7. Setiap warga negara memiliki hak sama dalam kemerdekaan berserikat, berkumpul mengeluarkan pendapat secara lisan dan tulisan sesuai undang-undang yang berlaku
B. Contoh Kewajiban Warga Negara Indonesia
  1. Setiap warga negara memiliki kewajiban untuk berperan serta dalam membela, mempertahankan kedaulatan negara indonesia dari serangan musuh
  2. Setiap warga negara wajib membayar pajak dan retribusi yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah (pemda)
  3. Setiap warga negara wajib mentaati serta menjunjung tinggi dasar negara, hukum dan pemerintahan tanpa terkecuali, serta dijalankan dengan sebaik-baiknya
  4. Setiap warga negara berkewajiban taat, tunduk dan patuh terhadap segala hukum yang berlaku di wilayah negara indonesia
  5. Setiap warga negara wajib turut serta dalam pembangunan untuk membangun bangsa agar bangsa kita bisa berkembang dan maju ke arah yang lebih baik.

demokrasi


1. Demokrasi
Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Begitulah pemahaman yang paling sederhana tentang demokrasi, yang diketahui oleh hampir semua orang. Demokrasi merupakan bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan (demokrasi perwakilan). Istilah ini berasal dari bahasa Yunani δημοκρατία – (dēmokratía) "kekuasaan rakyat", yang dibentuk dari kata δμος (dêmos) "rakyat" dan κράτος (Kratos) "kekuasaan", merujuk pada sistem politik yang muncul pada pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM di negara kota Yunani Kuno, khususnya Athena, menyusul revolusi rakyat pada tahun 508 SM. Berbicara mengenai demokrasi adalah memburaskan (memperbincangkan) tentang kekuasaan, atau lebih tepatnya pengelolaan kekuasaan secara beradab. Ia adalah sistem manajemen kekuasaan yang dilandasi oleh nilai-nilai dan etika serta peradaban yang menghargai martabat manusia. Pelaku utama demokrasi adalah kita semua, setiap orang yang selama ini selalu diatasnamakan namun tak pernah ikut menentukan Menjaga proses demokratisasi adalah memahami secara benar hak-hak yang kita miliki, menjaga hak-hak itu agar siapapun menghormatinya, melawan siapapun yang berusaha melanggar hak-hak itu. Demokrasi pada dasarnya adalah aturan orang (people rule), dan di dalam sistem politik yang demokratis warga mempunyai hak, kesempatan dan suara yang sama di dalam mengatur pemerintahan di dunia publik. Sedang demokrasi adalah keputusan berdasarkan suara terbanyak. Di Indonesia, pergerakan nasional juga mencita-citakan pembentukan negara demokrasi yang berwatak anti-feodalisme dan anti-imperialisme, dengan tujuan membentuk masyarakat sosialis. Bagi Gus Dur, landasan demokrasi adalah keadilan, dalam arti terbukanya peluang kepada semua orang, dan berarti juga otonomi atau kemandirian dari orang yang bersangkutan untuk mengatur hidupnya, sesuai dengan apa yang dia ingini. Jadi masalah keadilan menjadi penting, dalam arti dia mempunyai hak untuk menentukan sendiri jalan hidupnya, tetapi harus dihormati haknya dan harus diberi peluang dan kemudahan serta pertolongan untuk mencapai itu.
Prinsip-prinsip demokrasi
Setiap prinsip demokrasi dan prasyarat dari berdirinya negara demokrasi telah terakomodasi dalam suatu konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prinsip-prinsip demokrasi, dapat ditinjau dari pendapat Almadudi yang kemudian dikenal dengan "soko guru demokrasi." Menurutnya, prinsip-prinsip demokrasi adalah:
  1. Kedaulatan rakyat;
  2. Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah;
  3. Kekuasaan mayoritas;
  4. Hak-hak minoritas;
  5. Jaminan hak asasi manusia;
  6. Pemilihan yang bebas dan jujur;
  7. Persamaan di depan hukum;
  8. Proses hukum yang wajar;
  9. Pembatasan pemerintah secara konstitusional;
  10. Pluralisme sosial, ekonomi, dan politik;
  11. Nilai-nilai tolerensi, pragmatisme, kerja sama, dan mufakat.
Asas pokok demokrasi
Gagasan pokok atau gagasan dasar suatu pemerintahan demokrasi adalah pengakuan hakikat manusia, yaitu pada dasarnya manusia mempunyai kemampuan yang sama dalam hubungan sosial. Berdasarkan gagasan dasar tersebut terdapat 2 (dua) asas pokok demokrasi, yaitu:
  1. Pengakuan partisipasi rakyat dalam pemerintahan, misalnya pemilihan wakil-wakil rakyat untuk lembaga perwakilan rakyat secara langsung, umum, bebas, dan rahasia serta jurdil; dan
  2. Pengakuan hakikat dan martabat manusia, misalnya adanya tindakan pemerintah untuk melindungi hak-hak asasi manusia demi kepentingan bersama.


Pemilihan umum secara langsung mencerminkan sebuah demokrasi yang baik
Ciri-ciri pemerintahan demokratis
Istilah demokrasi diperkenalkan kali pertama oleh Aristoteles sebagai suatu bentuk pemerintahan, yaitu suatu pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan berada di tangan banyak orang (rakyat). Dalam perkembangannya, demokrasi menjadi suatu tatanan yang diterima dan dipakai oleh hampir seluruh negara di dunia. Ciri-ciri suatu pemerintahan demokrasi adalah sebagai berikut.
  1. Adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik, baik langsung maupun tidak langsung (perwakilan).
  2. Adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang.
  3. Adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara.
  4. Adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat.