Halaman

Selasa, 29 Maret 2011

INSTRUMEN HAM SEBAGAI NORMA HUKUM

Hak asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia. Untuk menjamin hak semua manusia maka perlu adanya ketentuan atau norma yang digunakan untuk menjaminnya. Konvensi-konvensi internasional merupakan instrumen untuk menjamin hak-hak itu.
Hak asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki setiap manusia, untuk bisa mengembangkan kehidupannya. Sebagai hak dasar yang ada pada makhluk ciptaan Tuhan yang berjenis manusia, maka setiap manusia harus memiliki hak itu dan tidak bisa dibatasi, dirampas, didiskriminasi atas dasar jenis kelamin, suku bangsa atau ras, status sosial (kaya-miskin, berpendidikan-tidak berpendidikan, buruh-majikan, anak-orang tua, rakyat biasa dan pejabat).
Hak asasi manusia terbagi dalam dua kelompok. Pertama, kelompok hak sipil dan politik, dan kedua, kelompok hak ekonomi, sosial, dan budaya. Hak sipil contohnya adalah hak untuk bebas dari penyiksaan, hak untuk bebas bergerak. Sedangkan contoh hak politik adalah hak untuk mengemukakan pendapat atau ide, hak untuk berorganisasi. Contoh hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan upah yang layak. Hak sosial contohnya adalah hak atas pelayanan kesehatan, hak atas bantuan kemanusiaan bagi orang yang mengalami musibah. Sedangkan contoh hak budaya adalah hak untuk menikmati hasil pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, hak untuk mengembangkan kebudayaan. Bila seseorang dengan kekuasaannya, merampas atau membatasi hak orang lain, maka tindakan ini merupakan pelanggaran hak asasi manusia.
Negara mempunyai tanggungjawab utama dan berkewajiban untuk melindungi hak sipil dan politik, dan mengembangkan hak ekonomi, sosial, dan budaya warganegaranya. Bila negara tidak bisa memenuhi tanggungjawab ini, maka dapat dikatakan negara telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Misalnya, apabila tindakan kriminal merajalela terhadap penduduk. Tidak ada sarana pelanyanan sosial seperti pusat pelayanan kesehatan untuk masyarakat dan sekolah, maka negara sedang melakukan pelanggaran hak asasi manusia.

INSTRUMEN HAM SEBAGAI NORMA HUKUM

Hak asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia. Untuk menjamin hak semua manusia maka perlu adanya ketentuan atau norma yang digunakan untuk menjaminnya. Konvensi-konvensi internasional merupakan instrumen untuk menjamin hak-hak itu.
Hak asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki setiap manusia, untuk bisa mengembangkan kehidupannya. Sebagai hak dasar yang ada pada makhluk ciptaan Tuhan yang berjenis manusia, maka setiap manusia harus memiliki hak itu dan tidak bisa dibatasi, dirampas, didiskriminasi atas dasar jenis kelamin, suku bangsa atau ras, status sosial (kaya-miskin, berpendidikan-tidak berpendidikan, buruh-majikan, anak-orang tua, rakyat biasa dan pejabat).
Hak asasi manusia terbagi dalam dua kelompok. Pertama, kelompok hak sipil dan politik, dan kedua, kelompok hak ekonomi, sosial, dan budaya. Hak sipil contohnya adalah hak untuk bebas dari penyiksaan, hak untuk bebas bergerak. Sedangkan contoh hak politik adalah hak untuk mengemukakan pendapat atau ide, hak untuk berorganisasi. Contoh hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan upah yang layak. Hak sosial contohnya adalah hak atas pelayanan kesehatan, hak atas bantuan kemanusiaan bagi orang yang mengalami musibah. Sedangkan contoh hak budaya adalah hak untuk menikmati hasil pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, hak untuk mengembangkan kebudayaan. Bila seseorang dengan kekuasaannya, merampas atau membatasi hak orang lain, maka tindakan ini merupakan pelanggaran hak asasi manusia.
Negara mempunyai tanggungjawab utama dan berkewajiban untuk melindungi hak sipil dan politik, dan mengembangkan hak ekonomi, sosial, dan budaya warganegaranya. Bila negara tidak bisa memenuhi tanggungjawab ini, maka dapat dikatakan negara telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Misalnya, apabila tindakan kriminal merajalela terhadap penduduk. Tidak ada sarana pelanyanan sosial seperti pusat pelayanan kesehatan untuk masyarakat dan sekolah, maka negara sedang melakukan pelanggaran hak asasi manusia.

hambatan ham(hak asasi manusia)

Bagaimana penggunaan hak asasi manusia (HAM) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara? Apakah HAM akan melemahkan atau memperkuat kehidupan berbangsa dan bernegara khususnya di dalam menghadapi masyarakat yang majemuk seperti Indonesia? Untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut, terlebih dahulu kita harus memahami sedikit tentang sejarah mengenai HAM yang saat ini sudah diratifikasi dan telah menjadi dasar dalam pembentukan Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999.
Sejarah HAM dimulai pada saat berakhirnya Perang Dunia II. Dan, negara-negara penjajah berusaha menghapuskan segi-segi kebobrokan daripada penjajahan, sehingga pemikir-pemikir Barat mencetuskan konsep "Declaration of Human Rights" (DUHAM) pada tahun 1948. Semula Konsep HAM ini secara sukarela dijual ke semua negara yang sedang berkembang atau negara bekas jajahan namun tidak banyak mendapat respon. Banyak negara tidak bersedia menandatangani "Declaration of Human Rights".
Sekitar tahun 1970 para investor asing menekankan bahwa "pinjaman luar negeri" tidak akan diberikan kepada negara-negara yang tidak menerima dan tidak mengakui hak-hak asasi manusia. Kondisi ini mengakibatkan hak asasi dicap dan dijuluki sebagai komoditi dagang "trade community". Bersamaan dengan itu negara-negara sedang berkembang mulai merasakan bahwa "hubungan dagang" antara negara berkembang dan negara maju terasa sangat tidak seimbang. Dengan kata lain "hubungan dagang" itu hanya menguntungkan dan sangat menguntungkan negara maju dan merugikan negara sedang berkembang.
Melihat kondisi itu, lahirlah konsep yang diajukan oleh negara sedang berkembang yang dikenal dengan istilah The New International Economic Order (NIEO). Konsep ini melahirkan beberapa instrumen hukum yang bertujuan mengoreksi secara total hubungan dagang antara negara maju dan negara berkembang (North-South Dialogue). Namun, dalam perkembangannya, konsep NIEO dipandang tidak mempunyai nilai hukum (No legal value). Ada kurang lebih 117 negara sedang berkembang di dunia yang tersebar di Asia, Afrika, Amerika Latin, dan Timur Tengah dan hingga saat ini belum ada satu pun dari mereka yang memiliki tingkat perkembangan ekonomi yang memadai.
Dalam keadaan frustrasi di bidang hubungan dagang internasional ditambah dengan meningkatnya tekanan internasional negara sedang berkembang akhirnya harus meratifikasi "Declaration of Human Rights" (DUHAM). Bahkan posisi HAM ini dipropagandakan sebagai juru selamat peradaban dunia. Sekarang negara berkembang dihadapkan lagi kepada issu globalisasi.
Penegakan HAM di Indonesia masih bersifat: reaktif, didorong oleh unjuk rasa, demonstratif, pertentangan kelompok, di bawah tekanan negara maju dan didanai oleh beberapa lembaga internasional, belum build-in di dalam strategi nasional dan belum mewartai Pembangunan Nasional. Hal ini terjadi karena ada beberapa kelemahan pokok, yaitu:
a. Masih kurang pemahaman tentang HAM.
Banyak orang menangkap pemahaman HAM dari segi pemikiran formal belaka. HAM hanya dilihat sebagaimana yang tertulis dalam "Declaration of Human Rights" atau apa yang tertulis dalam Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia. Namun, hakikat pemahaman HAM harus dilihat sebagai suatu konsep yang bersifat multidimensi. Sebab, dalam pemahaman HAM tertanam di dalamnya konsep dasar "Politik, Hukum, sosiologi, filosofi, ekonomi dan realitas masyarakat masa kini, agenda internasional, yurisprudensi analitis, yurisprudensi normatif, etika dan estetika". Jika makna seperti ini dapat ditangkap melalui suatu proses pembelajaran, pemahaman, penghayatan dan akhirnya diyakini, barulah kita dapat menuju kepada suatu proses untuk menjadi HAM ini sebagai bagian dari Wawasan Nasional. Bagian dari kebijakan nasional, menjadikan HAM sebagai strategi nasional, program nasional dan konsistensi. Tetapi, jangan lupa bahwa HAM yang formal ini adalah barang import.

b. Masih kurang pengalaman
Disadari atau tidak kita harus akui bahwa HAM sebagai suatu konsep formal masih terasa baru di masyarakat kita. Kondisi ini mendorong kita harus membina kerjasama dengan beberapa negara dalam mencari gagasan, menciptakan kondisi yang kondusif, dan memberikan proteksi perlindungan HAM, persepsi dan pemahaman bersama seperti ini perlu didorong dan ditegakkan. Namun, kita harus hati-hati, khususnya dalam menjalin kerjasama dengan negara lain. Sebab, forum kerjasama, forum konsultasi, dan berbagai kebijakan selalu diboncengi kepentingan tertentu yang sering tidak terasa bahwa tujuan yang hendak dicapai menjadi melenceng jauh dari tujuan yang semula diharapkan.

c. Kemiskinan
Kemiskinan adalah sumber kebodohan, oleh sebab itu harus diperangi dan diberantas. Tema memberantas kemiskinan telah banyak dipersoalkan di forum-forum nasional, regional dan internasional, tetapi hingga saat ini belum ada solusinya. Bahkan, ide memberantas kemiskinan hanya mampu memobilisasi masyarakat miskin tanpa menambah sepeser pun uang ke kantong-kantong orang miskin. Dari segi HAM seolah-olah konvensi hak-hak sosial dan ekonomi yang belum diratifikasi oleh Indonesia perlu diwujudkan.

d. Keterbelakangan;
Keterbelakangan ini adalah suatu penyakit yang bersifat kultural dan struktural. Kultural karena sering sekelompok orang yang terikat dalam satu budaya yang sama memiliki adat-istiadat yang sama dan ara berpikir yang sama pula. Untuk mengatasi diperlukan proses pendidikan dan kebiasaan menggunakan logika berpikir.

e. Masih dipertanyakan bagaimana bentuk pelatihan HAM dalam masyarakat
f. Pemahaman HAM masih terbatas dalam pemahaman gerakan.
Untuk membangun HAM dalam masyarakat untuk menjaga kerukunan berbangsa dan bernegara diperlukan: 1) adanya personil pemerintahan yang berkualitas, 2) aparat pemerintah yang bermodal dan bertanggung jawab; 3) terbangunnya publik opini yang sehat atau tersedia sumber informasi yang jelas, 4) terbangunnya suatu kelompok pers yang berani dan bebas dalam koridor menjaga keutuhan bangsa dan negara, 5) adanya sanksi terhadap aparat yang melanggar HAM, 6) tersedianya "bantuan hukum" (legal-aid) di mana-mana, 7) terbentuknya jaringan aparat pemerintahan yang bersih, berwibawa sehingga bersinergi.

Jika semua unsur dapat dilaksanakan, maka dengan sendirinya akan terbentuk pemerintahan yang disebut "Good Corporate Governance". Pemerintahan seperti ini ditandai adanya 4 (empat) hal, transparancy, accountability, partisipasi dan demokrasi. Hanya memang harus diakui apakah kita mampu memasuki suatu pemerintahan yang dicita-citakan itu. Ujian dan godaannya cukup berat sebab setiap konsep, pemikiran, gagasan, ide selalu mengandung tujuan yang baik tetapi tindak lanjut dari suatu konsep sering melenceng jauh dari tujuan yang dicita-citakan.

Isu Demokrasi

Membangun demokrasi di dunia Ke-3 (tiga) seperti Indonesia pada prinsipnya akan dihadapkan dengan persoalan: Good Corporate Governance, Desentralisasi, Demiliterisme, Civil Society, dan Pasar Bebas. Keenam isu ini saling kait mengait antara yang satu dengan yang lainnya (interwoven) dan juga merupakan persoalan pokok dan tujuan yang hendak diwujudkan oleh HAM. Jadi, dengan demikian antara demokrasi dan Hak Asasi Manusia boleh dikatakan "identik".
Memahami setiap isu yang dikemukakan di atas dan mendorong pelaksanaannya memerlukan suatu "kerja keras". Sebagai contoh ringan dapat dikemukakan suatu pertanyaan: Bagaimana cara membangun suatu "civil society" (masyarakat sipil) dalam masyarakat? Perwujudan masyarakat sipil hanya bisa terwujud jika terpenuhi beberapa kondisi sosial politik dan ekonomi, antara lain: adanya situasi yang mampu memberi ruang kepada setiap individu untuk berkarya tanpa tekanan, interaksi yang terjadi dalam masyarakat relatif independen, ada jaminan bahwa kediktatoran tidak akan terjadi, dan kekuasaan menyebar tidak berada dalam satu tangan dan tidak dimonopoli oleh suatu golongan atau kekuatan tertentu.
Jika Konsep "Masyarakat Sipil" dilihat dari kacamata HAM seperti apa yang tercantum dalam Bab I Ketentuan Umum dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM pada ayat 6 dikatakan: Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja ataupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Ancaman dis-Integrasi Bangsa

Menumbuhkan pemahaman tentang perubahan yang sangat fundamental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terasa bukan hanya sangat penting tetapi semakin mendesak sehingga hukumnya menjadi wajib bagi setiap warga negara Indonesia. Sebab, tantangan yang paling berat dalam memasuki masa transisi dari alam sentralistis ke alam yang lebih desentralistis ialah kesiapan diri sendiri menangkap makna dan memahami perobahan serta menerima segala akibat yang bakal terjadi.
Apakah kita sudah paham benar tentang semua hal yang saat ini kita perjuangkan dan akibatnya? Apakah kita sudah paham bahwa perubahan paradigma pembangunan dimotori oleh instrumen hukum, politik, ekonomi dan sosial yang mengarah pada perubahan kultur kita sendiri yang selama ini menunjang stabilitas pembangunan? Bagaimana cara kita seharusnya memahami dan menyikapi berbagai konflik yang terjadi di masyarakat kita? Bagaimana cara membangun ketahanan nasional yang tangguh untuk menangkal berbagai dampak negatif dari masa transisi ini?
Pertanyaan-pertanyaan di atas perlu didiskusikan secara luas sehingga dapat membentuk suatu opini. Dialog seperti apa yang dilakukan dalam "Kemah Bina Kesatuan Bangsa" ini sangat penting untuk menumbuhkan dan menyebar luaskan pemahaman bersama. Untuk memahami sesuatu memerlukan beberapa persyaratan, antara lain:
 
 
a. Perlu dibangun suatu observasi dengan cara mengumpulkan
   data dan informasi yang relevan dengan suatu gagasan yang
   ditawarkan.
b. Usahakan menangkap setiap gagasan dengan cara mengerti
   betul "isi" kandungan gagasan atau konsep itu.
c. Teliti seoptimal mungkin sifat-sifat atau karakter setiap
   ide dan pelaksanaannya di lapangan.
d. Pelajari dengan sungguh-sungguh "struktur" setiap pemikir  
   an, konsep atau rencana yang ditawarkan.
e. Amati dan perhatikan setiap perkembangan dan gerakan di
   lapangan dalam pelaksanaan suatu konsep atau ide.
f. Ketahui dan pahami betul sumber-sumber termasuk alamnya,
   lingkungannya dan habitatnya dari suatu konsep, gagasan,
   pemikiran yang ditawarkan.

pembuatan undang undang selalu hormati ham

Pemerintah akan selalu menghormati dan tidak mengesampingkan perspektif hak asasi manusia dalam membuat peraturan perundang-undangan.
"Kita sedang berjuang sekuat tenaga agar sistem yang dibangun ke depan harus melindungi HAM, yang berdemokrasi, tapi tetap tidak boleh bertentangan dengan hukum," kata Patrialis dalam peringatan Hari HAM di Jakarta, Senin (20/12).
Pemerintah, menurutnya, berjanji untuk terus melindungi hak asasi setiap warganya secara utuh. Pembentukan Mahkumjakpol (Mahkamah Agung, Kemenkum HAM, Kejaksaan Agung dan Kepolisian) yang merupakan gabungan lembaga hukum merupakan keseriusan pemerintah melindungi hak masyarakat.
Patrialis juga mengungkapkan bahwa program kerja pemerintah saat ini memang fokus pada pemenuhan HAM, sehingga perlu ada keterpaduan antar penegak hukum yang ada saat ini.
"Kita ingin menunjukkan pada dunia bahwa kita serius mengenai HAM, baik itu dalam konteks perundang-undangan atau perilaku. Kita tidak main-main," tegas Patrialis.
Menurut dia, saat ini pemerintah berupaya memberikan perlindungan yang utuh pada masyarakat yang termarjinalkan, karena berdasarkan laporan Bappenas jumlah penduduk miskin 2010 mencapai 32 juta jiwa atau sekitar 14,4 persen. Jumlah tersebut tentu berdampak pada penurunan kualitas sumber daya manusia (SDM) di Indonesia.
Lebih lanjut, Patrialis mengatakan batas kemiskinan tersebut bisa menjadi tolak ukur bahwa masih banyak hak-hak masyarakat belum terpenuhi.
Menurut dia, hal tersebut bukan karena ketidakmampuan ekonomi, namun juga masalah pemenuhan hak-hak dasar dan perbedaan perilaku dalam menjalani kehidupan yang bermartabat.(ant/waa)

Pembuatan Undang-undang Selalu Hormati HAM

Pemerintah akan selalu menghormati dan tidak mengesampingkan perspektif hak asasi manusia dalam membuat peraturan perundang-undangan.
"Kita sedang berjuang sekuat tenaga agar sistem yang dibangun ke depan harus melindungi HAM, yang berdemokrasi, tapi tetap tidak boleh bertentangan dengan hukum," kata Patrialis dalam peringatan Hari HAM di Jakarta, Senin (20/12).
Pemerintah, menurutnya, berjanji untuk terus melindungi hak asasi setiap warganya secara utuh. Pembentukan Mahkumjakpol (Mahkamah Agung, Kemenkum HAM, Kejaksaan Agung dan Kepolisian) yang merupakan gabungan lembaga hukum merupakan keseriusan pemerintah melindungi hak masyarakat.
Patrialis juga mengungkapkan bahwa program kerja pemerintah saat ini memang fokus pada pemenuhan HAM, sehingga perlu ada keterpaduan antar penegak hukum yang ada saat ini.
"Kita ingin menunjukkan pada dunia bahwa kita serius mengenai HAM, baik itu dalam konteks perundang-undangan atau perilaku. Kita tidak main-main," tegas Patrialis.
Menurut dia, saat ini pemerintah berupaya memberikan perlindungan yang utuh pada masyarakat yang termarjinalkan, karena berdasarkan laporan Bappenas jumlah penduduk miskin 2010 mencapai 32 juta jiwa atau sekitar 14,4 persen. Jumlah tersebut tentu berdampak pada penurunan kualitas sumber daya manusia (SDM) di Indonesia.
Lebih lanjut, Patrialis mengatakan batas kemiskinan tersebut bisa menjadi tolak ukur bahwa masih banyak hak-hak masyarakat belum terpenuhi.
Menurut dia, hal tersebut bukan karena ketidakmampuan ekonomi, namun juga masalah pemenuhan hak-hak dasar dan perbedaan perilaku dalam menjalani kehidupan yang bermartabat.(ant/waa)

Sistem Hukum dan HAM Pasca Amandemen UUD 1945


Pintu gerbang reformasi adalah amandemen konstitusi. Tesis ini perlu saya kemukakan sehubungan dengan apresiasi sistemik atas dinamika hukum dan tatanegara RI pasca amandemen UUD 1945. Tak sedikit kelompok masyarakat yang kontra dengan amandemen. Pihak ini memandang bahwa konstitusi yang dirancang pada paruh pertama periode kemerdekaan masih konteks dengan konstruksi hukum dan ketatanegaraan Indonesia.

Amandemen bagi mereka hanya akan merubah seluruh pondasi dasar kenegaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang telah dibangun oleh founding father dengan merepresentasi semangat kemerdekaan dan nasionalisme.

Latar Belakang Amandemen UUD 1945

Dengan berbagai argumentasi dan tuntutan realitas kebangsaan dan demokrasi, maka amandemen harus dilaksanakan. Namun harus disadari bahwa merubah pandangan rakyat yang sudah cukup lama ditatar bahwa UUD 1945 tidak dapat dirubah kecuali melalui referendum, bukanlah pekerjaan mudah dan sederhana. Namun akhirnya kesadaran muncul. Beberapa partai politik dalam Pemilu 1999 tegas-tegas menyuarakan perlunya amandemen konstitusi. Akhirnya perubahan konstitusi terjadi juga dalam empat tahapan perubahan, yang disebut dengan Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat. Sejarah Konstitusi kita juga menunjukkan bahwa UUD 1945 bersifat sementara yang akan disempurnakan bila keadaan sudah aman. Diantara argumentasi yang mendasari perubahan UUD 1845 tersebut antara lain:

Pertama, Undang-Undang Dasar 1945 membentuk struktur ketatanegaraan yang bertumpu pada kekuasaan tertinggi di tangan MPR yang sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat. Hal ini berakibat pada tidak terjadinya checks and balances pada institusi-institusi ketatanegaraan.

Kedua, Undang-Undang Dasar 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada pemegang kekuasaan eksekutif (Presiden). Sistem yang dianut UUD 1945 adalah executive heavy yakni kekuasaan dominan berada di tangan Presiden dilengkapi dengan berbagai hak konstitusional yang lazim disebut hak prerogatif (antara lain: memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi) dan kekuasaan legislatif karena memiliki kekuasan membentuk Undang-undang.

Ketiga, UUD 1945 mengandung pasal-pasal yang terlalu “luwes” dan “fleksibel” sehingga dapat menimbulkan lebih dari satu penafsiran (multitafsir), misalnya Pasal 7 UUD 1945 (sebelum di amandemen).

Keempat, UUD 1945 terlalu banyak memberi kewenangan kepada kekuasaan Presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan Undang-undang. Presiden juga memegang kekuasaan legislatif sehingga Presiden dapat merumuskan hal-hal penting sesuai kehendaknya dalam Undang-undang.

Kelima, rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggaraan negara belum cukup didukung ketentuan konstitusi yang memuat aturan dasar tentang kehidupan yang demokratis, supremasi hukum, pemberdayaan rakyat, penghormatan hak asasi manusia dan otonomi daerah. Hal ini membuka peluang bagi berkembangnya praktek penyelengaraan negara yang tidak sesuai dengan Pembukaan UUD 1945, antara lain sebagai berikut: a) Tidak adanya check and balances antar lembaga negara dan kekuasaan terpusat pada presiden; b) Infra struktur yang dibentuk, antara lain partai politik dan organisasi masyarakat; c) Pemilihan Umum (Pemilu) diselenggarakan untuk memenuhi persyaratan demokrasi formal karena seluruh proses tahapan pelaksanaannya dikuasai oleh pemerintah; d) Kesejahteraan sosial berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 tidak tercapai, justru yang berkembang adalah sistem monopoli dan oligopoli.

Sistem Hukum dan Tata Negara Pasca Amandemen UUD 1945

Dengan empat tahapan amandemen konstitusi itu, niat yang sesungguhnya dari para penggagas adalah untuk memperbaiki dan sekaligus menyempurnakan sistem dan mekanisme penyelenggaraan negara kita untuk memperkuat sistem presidensiil.

Pertama, hubungan antar lembaga negara bukan didasarkan pada hirarkis. Praktek ketatanegaraan sebelum perubahan Undang-Undang Dasar 1945 dikenal dengan adanya lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara. Implementasi dari sistem ini adalah menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang salah satu fungsinya adalah memberikan cabang kekuasaan negara kepada lembaga negara lainnya, misalnya kekuasaan eksekutif kepada presiden, kekuasaan legislatif kepada DPR, dan kekuasaan yudikatif kepada MA. Konsekuensi pada sidang tahunan, presiden, DPR, MA, DPA dan BPK mempertanggungjawabkan kepada MPR. Praktek ketatanegaraan seperti ini didasarkan pada pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Mejelis Permusyawaratan Rakyat”. Konsekwensi dari MPR sebagai lembaga tertinggi negara adalah menjadi lembaga super bodi yang memiliki segala-galanya. Setelah perubahan Undang-Undang Dasar pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 berubah men
jadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Hilangnya kata “sepenuhnya” pada pasal tersebut mempunyai implikasi yang sangat fundamental dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. MPR kedudukannya tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara, tetapi sama dengan lembaga negara lainnya. Dengan demikian hubungan antar lembaga negara tidak didasarkan pada hirarkis atas-bawah, melainkan sejajar yang masing-masing lembaga negara menjalankan sebagaimana fungsinya.

Kedua, pembatasan masa jabatan Presiden, yakni selama lima tahun, namun hanya untuk dua periode saja, telah dilakukan. Hal ini mencegah diangkatnya Presiden seumur hidup seperti di masa Orde Lama, atau Presiden yang dipilih setiap lima tahun tanpa batasan periode seperti di zaman Orde Baru. Amandemen terhadap pasal tentang masa jabatan Presiden ini patut kita hargai. Di masa depan, kita harapkan tidak akan ada lagi Presiden seumur hidup atau dipilih berkali-kali tanpa batasan periode. Sistem ini akan mencegah terulangnya kekuasaan Presiden yang cenderung menyalahgunakan kekuasaannya karena memerintah terlalu lama.

Ketiga, pembatasan kewenangan Presiden. Sebelum dilakukan amandemen, kewenangan presiden dinilai terlalu besar di dalam UUD 1945. Ketentuan yang menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dibalik menjadi kewenangan DPR. Namun Presiden tetap berhak mengajukan rancangan undang-undang untuk mendapat persetujuan DPR. Perubahan ini bertujuan untuk memberikan penguatan kepada DPR, walau tidak mengubah hakikat bahwa badan legislatif tidaklah hanya monopoli DPR. Badan ini memang memegang kekuasaan legislasi, namun tidak menyebabkan DPR menjadi badan legislatif, karena sebagian kewenangan legislasi tetap berada di tangan Presiden. Presiden tetap memegang kekuasaan legislatif bersama-sama dengan DPR dan untuk beberapa hal sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 bersama-sama juga dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Keempat, munculnya Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Utusan daerah dan utusan golongan-golongan yang dulu dimaksud untuk menambah anggota DPR untuk membentuk MPR, digantikan dengan anggota DPD. Anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum menggunakan sistem proporsional melalui partai politik dengan teknik penentuan calon jadi berdasarkan BPP, sedangkan pencalonan DPD adalah perorangan dengan teknik penentuan calon jadi berdasar simple majority berdasarkan rangking perolehan suara. Inilah esensi DPR mewakili orang (people representation), sementara DPD mewakili ruang (sphere representation). Artinya, keterwakilan sesama anggota DPR harus mencerminkan kesederajatan dan keadilan. Tidak ada lagi anggota DPR maupun MPR yang diangkat. Ketidakjelasan jumlah anggota MPR dan pengertian “ditambah dengan utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan” yang dapat dijadikan Presiden sebagai instrumen untuk melanggengkan kekuasaan, dapat dihindari, sebab jumlah maksimum anggota DPD adalah sepertiga anggota DPR seperti diatur
dalam Pasal 22C ayat (2) UUD 1945.

Kelima, amandemen Konstitusi juga telah menciptakan lembaga baru, yakni Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh dua lembaga, yakni Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Keberadaan MK adalah suatu gagasan yang baik, untuk memeriksa perkara-perkara yang terkait langsung dengan konstitusi. Kekuasaan Kehakiman sebagai cabang kekuasaan yang merdeka, memang harus terpisah secara ketat dengan cabang-cabang kekuasaan negara lainnya. Pada masa saya menjadi Menteri Kehakiman dan HAM saya telah menuntaskan sebuah pekerjaan cukup berat yakni memisahkan kewenangan adiminstrasi, personil dan keuangan peradilan dari Pemerintah. Kini, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi secara administrasi, personil dan keuangan benar-benar independen, apalagi dalam menangani perkara. Jadi, meskipun dalam hal legislasi ada pembagian kekuasaan antara Presiden, DPR dan DPD, namun dalam hal kekuasaan kehakiman, maka kekuasaan ini adalah kekuasaan yang merdeka dan bebas dari campur-tangan lembaga manapun juga.
Dengan amandemen UUD 1945, kedudukan DPR telah diperkuat, bukan saja dalam kewenangan legislasi, namun juga dalam hal anggaran dan pengawasan. Presiden tidak dapat membubarkan DPR yang anggota-anggotanya dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum secara berkala lima tahun sekali. Meskipun demikian, Presiden tidak bertanggungjawab kepada DPR. Inilah sesungguhnya inti dari sistem pemerintahan Presidensial yang kita anut. Para menteri adalah pembantu Presiden, yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, dan karena itu bertanggungjawab kepada Presiden. DPR memang memiliki wewenang melakukan pengawasan, namun tidak dapat “memanggil” para menteri yang dapat menimbulkan kesan bahwa yang satu adalah bawahan dari yang lain, apalagi meminta pertanggungjawabannya.

Pertanggungjawaban akhir penyelenggaraan pemerintahan negara, sesungguhnya terletak di tangan Presiden. DPR juga tidak dapat mendesak Presiden untuk memberhentikan menteri, karena pengangkatan dan pemberhentiannya adalah kewenangan Presiden yang tidak dapat dicampuri oleh lembaga negara yang lain.

HAM Pasca Amandemen UUD 1945

Bagaimanapun, amandemen UUD 1945 masih jauh dari kata sempurna. Masih banyak problem kebangsaan yang mustinya diatur langsung dalam UUD, namun tidak/belum dicantumkan di dalamnya. Sebaliknya, barangkali terdapat beberapa poin yang mustinya tidak dimasukkan, tetapi dimasukkan dalam UUD. Namun bukankah konstitusi harus tetap dan senantiasa hidup (living constitution) sesuai dengan semangat zaman (zeitgeist), realitas dan tantangan masanya?

UUD 1945 bukanlah sekedar cita-cita atau dokumen bernegara, akan tetapi ia harus diwujudnyatakan dalam berbagai persoalan bangsa akhir-akhir ini. Misalnya, kenyataan masih seringnya pelanggaran HAM terjadi di negeri ini. Taruhlah misalnya; kasus pembunuhan aktivis Munir, kasus penggusuran warga, jual-beli bayi, aborsi, dan seterusnya.

Di bidang HAM masih banyak terjadi perlakuan diskriminasi antara si kaya dan si miskin, hukum memihak kekuasaan, korupsi dan kolusi di pengadilan, dan lain-lain. Demikian pula masalah kesenjangan sosial, busung lapar, pengangguran dan kemiskinan. Realitas kehidupan di atas hendaknya menjadi bahan refleksi bagi seluruh komponen bangsa Indonesia.

Pada posisi ini, amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dinilai belum transformatif. Konstitusi ini masih bersifat parsial, lebih terfokus pada aspek restriktif negara dan aspek protektif individu dalam hak asasi manusia. Tiga hal yang belum disentuh amandemen UUD 1945 adalah bagaimana cara rakyat menarik kedaulatannya, penegasan mengenai supremasi otoritas sipil atas militer, serta penegasan dan penjaminan otonomi khusus dalam konstitusi. Hal itu pernah juga diungkapkan Sosiolog Iwan Gardono Sujatmiko.

Meski demikian, amandemen UUD 1945 sesungguhnya telah memuat begitu banyak pasal-pasal tentang pengakuan hak asasi manusia. Memang UUD 1945 sebelum amandemen, boleh dikatakan sangat sedikit memuat ketentuan-ketentuan tentang hal itu, sehingga menjadi bahan kritik, baik para pakar konstitusi, maupun politisi dan aktivis HAM. Dimasukkannya pasal-pasal HAM memang menandai era baru Indonesia, yang kita harapkan akan lebih memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan hak asasi manusia. Pemerintah dan DPR, juga telah mensahkan berbagai instrument HAM internasional, di samping juga mensahkan undang-undang tentang HAM pada masa pemerintahan Presiden Habibie.

Terdapat 10 Pasal HAM pada perubahan UUD 1945. Pencantuman HAM dalam perubahan UUD 1945 dari Pasal 28A s/d Pasal 28J UUD 1945, tidak lepas dari situasi serta tuntutan perubahan yang terjadi pada masa akhir pemerintahan Orde Baru, yaitu tuntutan untuk mewujudkan kehidupan demokrasi, penegakkan supremasi hukum, pembatasan kekuasaan negara serta jaminan dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia sebagai antitesa dari berbagai kebijakan pemerintahan Orde Baru yang mengabaikan aspek-aspek tersebut.

Memang, sebelum perubahan UUD 1945, pada tahun 1988-1990 yaitu pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie, telah dikeluarkan Ketetapan MPR RI No. XVII/1998 mengenai Hak Asasi Manusia yang didalamnya tercantum Piagam HAM Bangsa Indonesia dalam Sidang Istimewa MPR RI 1998, dan dilanjutkan dengan UU No. 39 Tahun 1999. Kedua peraturan perundang-undangan tersebut telah mengakomodir Universal Declaration of Human Right. Apa yang termuat dalam perubahan UUD 1945 (Pasal 28A s/d Pasal 28J) adalah merujuk pada kedua peraturan perundang-undangan tersebut, dengan perumusan kembali secara sistematis.

Kecurigaan bahwa konsep HAM yang diadaptasi oleh bangsa Indonesia selama ini dari Barat diantisipasi oleh amandemen pada pasal Pasal 28J UUD 1945 yang mengatur adanya pembatasan HAM. Karena itu, pemahaman terhadap Pasal 28J pada saat itu adalah pasal mengenai pembatasan HAM yang bersifat sangat bebas dan indvidualistis itu dan sekaligus pasal mengenai kewajiban asasi. Jadi tidak saja hak asasi tetapi juga kewajiban asasi.

Ketentuan HAM dalam UUD 1945 yang menjadi basic law adalah norma tertinggi yang harus dipatuhi oleh negara. Karena letaknya dalam konstitusi, maka ketentuan-ketentuan mengenai HAM harus dihormati dan dijamin pelaksanaanya oleh negara. Karena itulah pasal 28I ayat (4) UUD 1945 menegaskan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah.

Terdapat dua aspek yang harus diperhatikan dalam pembentukan perundang-undangan terkait dengan implementai HAM yaitu: berkaitan dengan proses dan berkaitan dengan substansi yang diatur peraturan perundang-undangan. Proses pembentukan peraturan perundang-undangan harus dilakukan dengan transparan dan melibatkan rakyat untuk memenuhi hak asasi warga negara untuk memperoleh informasi dan hak warga negara berpatisipasi dalam pemerintahan.

Sehubungan dengan substansi peraturan perundang-undangan, maka ada dua hal yang harus diperhatikan oleh pembentuk peraturan perundang-undangan. Pertama; pengaturan yang membatasi HAM hanya dapat dilakukan dengan undang-undang dan terbatas yang diperkenankan sesuai ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Karena itu Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan seterusnya pada tingkat bawah tidak dapat membatasi HAM. Kedua; substansi peraturan perundang-undangan harus selalu sesuai atau sejalan dengan ketentuan-ketentuan HAM yang ada dalam UUD 1945.

Pelanggaran terhadap salah satu saja dari kedua aspek tersebut dapat menjadi alasan bagi seseorang, badan hukum atau masyarakat hukum adat untuk menyampaikan permohonan pengujian terhadap undang-undang tersebut kepada Mahkamah Konstitusi dan jika bertentangan dengan UUD dapat saja undang-undang tersebut sebahagian atau seluruh dinyatakan tidak berkekuatan mengikat. Jadi mekanisme kontrol terhadap kekuasaan negara pembentuk undang-undang dilakukan oleh rakyat melalui Mahkamah Konstitusi. Dengan proses yang demikian menjadikan UUD kita menjadi UUD yang hidup, dinamis dan memiliki nilai praktikal yang mengawal perjalanan bangsa yang demokratis dan menghormati HAM. Namun, penegakan HAM tidak akan terwujud hanya dengan mencantumkannya dalam konstitusi. Semua pihak berkewajiban mengimplementasikannya dalam seluruh aspek kehidupan. Kita menyadari penegakan HAM tidak seperti membalik telapak tangan. Ia harus diawali dari level paling mikro, yaitu diri sendiri. Bagaimana dengan anda? 

Minggu, 06 Maret 2011

hak dan kewajiban

HAK DAN KEWAJIBAN
itu mengatur hubungan hukum antara tiap orang, tiap masyarakat, tiap lembaga, bahkan tiap negara. Hubungan hukum tersebut terlaksana pada hak dan kewajiban..

Setiap hubungan hukum yang diciptakan oleh hukum selalu mempunyai dua sisi. Sisi yang satu ialah hak dan sisi lainnya adalah kewajiban. Tidak ada hak tanpa kewajiban. Sebaliknya tidak ada kewajiban tanpa hak. Karena pada hakikatnya sesuatu pasti ada pasangannya.

Hak adalah suatu kewenangan atau kekuasaan yang diberikan oleh hukum. Suatu kepentingan yang dilindungi oleh hukum. Baik pribadi maupun umum. Dapat diartikan bahwa hak adalah sesuatu yang patut atau layak diterima. Contoh hak : hak untuk hidup, hak untuk mempunyai keyakinan dan lain-lain.

Sedangkan kewajiban adalah suatu beban atau tanggungan yang bersifat kontraktual. Dengan kata lain kewajiban adalah sesuatu yang sepatutnya diberikan. Contoh kewajiban : Dalam jual beli, bila kita membeli suatu barang, maka kita wajib membayar barang tersebut.

Perwujudan hukum menjadi hak dan kewajiban itu terjadi dengan adanya perantaraan peristiwa hukum. Segala peristiwa atau kejadian dalam keadaan tertentu adalah peristiwa hukum. Untuk terciptanya suatu hak dan kewajiban diperlukan terjadinya peristiwa yang oleh hukum dihubungkan sebagai akibat. Karena pada umumnya hukum itu bersifat pasif. Contoh : Terdapat ketentuan "barangsiapa mencuri, maka harus dihukum". Maka bila tidak terjadi peristiwa pencurian maka tidaklah ada akibat hukum. yang diberikan oleh