05 March 2008
Identitas
Apa yang membedakan kita atas nama kepercayaan, suku, dan bangsa, sudah terjadi sejak kita dilahirkan. Tanpa kita sadari ketika kita dilahirkan sebuah predikat langsung melekat pada keberadaan kita. Nama kita mengikat kita pada satu keluarga, satu kepercayaan, satu komunitas dan satu bangsa.
Identitas adalah sebentang Mobius yang melilit. Di satu sisi, ia mengukuhkan kebersamaan satu kelompok, keselarasan visi dan ambisi, namun atas atas nama kemajuan, prestasi dan kebersamaan, ia juga mampu secara brutal menghancurkan pihak yang dinilai mengancam azas-azas yang mengukuhkan kelompoknya. Tindakan anarkis dianggap sah karena ia membela kedaulatan kelompok. Tak ayal lagi, inilah insting survival purba yang kita wariskan dari leluhur kita sejak zaman Neolitik.
Sebaliknya, kita bisa memaknakan identitas dengan parameter yang lebih luas. Identitas, menurut Amin Maalouf, sekaligus inklusif dan eksklusif. Sebagai contoh, sebagai warga Indonesia beretnis Cina, maka saya dianggap warga minoritas. Tetapi sebagai anak turunan Cina, saya termasuk golongan warga terbesar di dunia. Perbedaan perspektif ini tergantung dari sudut referensi mana kita meneropong kedudukan kita. Sebaliknya, sebagai anak turunan Cina, dilahirkan di Tebing Tinggi, Sumatera Utara, menulis tiga novel dalam bahasa Inggris, membesut sebuah film tentang seorang pegawai kecil di bagian arsip dan bermukim di kawasan Lebak Bulus, saya menjadi sangat unik, karena tidak ada manusia lain selain saya yang menyandang predikat seperti ini. Tetapi kalau kita meneliti ini lebih dalam, maka kita akan menyimpulkan bahwa individualitas ini sebenarnya tidak secara keseluruhan murni, karena ia juga bermuatan berbagai elemen eksklusif yang bertautan dengan berbagai manusia, lepas dari kepercayaan, suku maupun kebangsaan. Sebagai contoh, saya berbagi satu hobi membaca dengan berjuta-juta manusia lain. Saya juga punya kesamaan seperti mereka yang suka bakmi, tahu, ataupun kue putu atau dengan mereka yang suka lagu-lagu Jeff Buckley.
Perumpamaan di atas secara gamblang menunjukkan betapa fleksibel sebenarnya identitas itu. Dalam skala makro, keberadaan kita mau tidak mau bertautan dengan begitu banyak manusia dari latar yang berbeda-beda dan tidak terbatas oleh demarkasi lokasi ataupun bangsa. Ironisnya, secara individu pun kita tidak mungkin dikelompokkan dalam satu kelompok karena pada dasarnya kita semua sangat berbeda. Ini terbukti beberapa waktu yang lalu oleh penelitian proyek genome manusia, di mana ditegaskan bahwa DNA manusia adalah sebuah keajaiban dari ribuan permutasi yang sama sekali tidak mungkin direplikasi. DNA kita ibaratnya hasil dari sekali tekanan tombol mesin jackpot dengan ratusan ikon yang berbeda. Kemungkinan untuk memreplikasi susunan DNA yang sama, sama sekali tidak ada.
Ilmu pengetahuan yang tadinya kita harapkan sebagai bintang penyelamat untuk membebaskan kita dari ortodoksi identitas, ternyata malah membuat kita semakin terjerumus dalam jurang pemisah. Pengetahuan, menurut Michel Foucault, hanya bisa membangkitkan lebih banyak pengetahuan. Michel Foucault memberi contoh seperti ini: seorang dokter yang kena flu tahu bagaimana mengobati dirinya dengan memilih obat yang tepat, tapi untuk kesehatan jiwanya ia tidak mampu memberikan preskripsi untuk dirinya. Karena untuk mengobati jiwanya ia membutuhkan lebih dari obat, ia perlu melakukan pelatihan-pelatihan – tehkne tou biou — untuk mencapai satu titik konversi — metanoai. Tehkne tou biou ini bukan sebuah antidote, seperti antidote untuk flu, tetapi sebuah perjalanan spiritualitas yang perlu ditekuni dalam hidup masing-masing. Pengetahuan dalam hal ini tidak mampu banyak membantu, karena ia justru mengakibatkan kita terperangkap dalam sejarah, tradisi dan segala embel-embel kepurbaan yang semakin mengikat kita pada satu identitas. Ia tidak mendorong kita untuk lebih mendekat pada realitas kehidupan dalam arti sebenarnya.
Alain Badiou dalam bukunya Ethics mengupas apa yang disebutnya sebagai akronim usang. Seperti kata-kata Keadilan, Demokrasi, Cinta, dan dalam hal ini Identitas juga bisa kita masukkan dalam deretan akronim abstrak ini. Sebagai sebuah term kata Identitas seperti juga Keadilan tidak punya makna yang konkret. Karena ia hanya sebuah term abstrak. Badiou ingin menjelaskan kepada kita bahwa ketika sebuah kegiatan dibakukan menjadi sebuah simbol ia kehilangan makna aslinya. Ketika kita mengatakan Keadilan maka makna asli dari kata itu, yaitu berlaku adil, segera kehilangan makna aslinya. Kita tenggelam dalam sebuah semesta makna yang begitu luas sehingga keaslian makna itu sendiri menjadi kabur. Kita lupa bahwa Identitas berangkat dari kata kerja yang punya makna memperkenalkan diri, mengidentifikan diri orang lain, atau menyatukan diri dengan orang lain. Dengan kata lain, dengan merangkul kata identitas kita menjadi lupa melakukan hal-hal yang berlaku untuk makna itu.
Identitas juga bercermin pada Yang Lain (The Other). Ia tidak bisa lepas dari pengakuan/pengukuhan orang lain. Identitas manusia selama hidupnya dicerminkan oleh seperangkat opini orang lain. Identitas dalam hal ini terkandung kesemuan yang menjadi kenyataan ketika kita mengkonfirmasi predikat-predikat dari orang lain. Ini paradoks yang kita bawa dari lahir yang akan terus melekat kecuali kita melakukan sesuatu untuk membebaskan diri dari tirani penafsiran Yang Lain. Dari penelitian proyek genome manusia, kita diajarkan bahwa kita tidak mungkin bisa sama seperti orang lain, sekalipun kita berusaha keras. Keunikan setiap individu sekaligus adalah kekuatan diri dan kelemahannya. Kekuatan karena dengan memahami keunikan itu kita tidak tergoyahkan oleh penafsiran Yang Lain. Kelemahannya adalah ketika kita berupaya untuk mengukuhkan identitas itu.
Seperti jalan menuju kesejahteraan jiwa harus melewati tehkne tou biou, pengasahan subjektivitas, maka untuk menjangkau orang lain kita juga perlu bekerja keras. Langkah pertama adalah membebaskan diri dari identitas. Manusia bebas identitas tidak memandang perbatasan negara, perbedaan suku atau pun kepercayaan sebagai jurang pemisah. Karena manusia pada dasarnya terikat dalam kebersamaan yang tak terelakkan, yaitu sebagai kelompok manusia berakal sehat dengan nilai-nilai kebaikan hakiki, mengemban visi yang sama, yakni dunia yang lestari dan damai. Dunia tanpa perbatasan dan identitas memungkinkan manusia untuk berpadu dalam satu komunitas dunia, bahu membahu menyelesaikan persoalan satu kasus demi satu kasus, tidak saling menyalip demi kepentingan bangsa, suku mau pun kepercayaan masing-masing. Alain Badiou menyimpulkan dengan elegan, “Satu bertaut dalam Dua. Kebersamaan berada dalam pergelutan perbedaan.†Ungkapan ini mengingatkan kita bahwa yang perlu kita lakukan bukan menyatu dengan orang banyak tetapi berusaha keras untuk mengembangkan simpati dan empati pada orang lain tanpa kekalutan historis, suku, maupun kepercayaan. Dari satu individu ke individu yang lain. Tanpa baliho yang meneriakkan slogan kebesaran ini dan itu.
Imajinasi juga sangat berperan dalam pendekatan kita pada Yang Lain. Dalam novelnya Identity, Milan Kundera memberi sebuah contoh bagaimana paras seseorang yang tak dikenal di sebuah kafe meninggalkan impresi yang begitu dalam pada tokoh utama novel sehingga ia berkembang dan menjadi seorang karakter yang terasa begitu akrab, seperti seseorang yang sudah dikenalnya selama bertahun-tahun. Melalui imajinasi, simpati dan empati kita akan terpicu, terlepas dari belenggu pradugaan dan keterbatasan identitas sehingga kita bisa bebas melebur pada Yang Lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar