Kebebasan beragama merupakan bagian integral dari hak asasi manusia (HAM). Karena itu, tidak heran kalau hal kebebasan beragama menjadi bagian penting dari Dialog HAM kelima antara Indonesia dan Norwegia yang diselenggarakan di Jakarta 26-28 April 2005 lalu. Menyampaikan makalah tentang ‘HAM dan Kebebasan Beragama: Perspektif Muslim” pada sesi pertama bersama Dr Tore Lindholm, Universitas Oslo, saya melihat adanya perbedaan perspektif, wacana, dan praktik HAM di Indonesia dan Norwegia --atau bahkan negara Eropa dan Barat umumnya. Memang, terdapat prinsip-prinsip HAM yang universal; sama dengan adanya perspektif Islam universal tentang HAM (huqul al-insan), yang dalam banyak hal kompatibel dengan Deklarasi Universal HAM (DUHAM). Tetapi juga harus diakui, terdapat upaya-upaya di kalangan sarjana Muslim dan negara Islam di Timur Tengah untuk lebih mengontekstualisasikan DUHAM dengan interpretasi tertentu dalam Islam dan bahkan dengan lingkungan sosial dan budaya masyarakat-masyarakat Muslim tertentu pula. Terdapat kecenderungan umum di kalangan Muslim-khususnya di Timur Tengah --untuk lebih menekankan hak-hak Tuhan (huquq Allah) dan hak-hak publik (huquq al-adami) di atas hak-hak personal/individual (huquq al-`abd).
Penekanan seperti ini, jelas merupakan kontrawacana atas penekanan yang terlalu besar pada hak-hak personal-individual di Barat umumnya, sehingga menimbulkan ekses-ekses tertentu dalam kehidupan publik. Lebih dari itu, kalangan Muslim yang terlibat dalam wacana seperti ini juga cenderung berpendapat bahwa DUHAM lebih memprioritaskan hak daripada kewajiban. Bagi mereka, harus terdapat keseimbangan antara keduanya.
Berdasarkan wacana dan pandangan seperti itu, Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada 5 Agustus 1990 mengeluarkan deklarasi tentang HAM dari perspektif Islam. Deklarasi yang juga dikenal sebagai “Deklarasi Kairo” mengandung prinsip dan ketentuan tentang HAM berdasarkan syari’ah. Masalahnya, banyak negara Muslim, seperti Indonesia, tidak menerapkan syari’ah sebagai hukum positif nasional; dan karena itu, Deklarasi Kairo tidak menjadi wacana penting dalam HAM dan kebebasan beragama di negara-negara Muslim yang tidak menerapkan syari’ah.
Perbedaan dasar pikiran dan perspektif juga terlihat dalam hal kebebasan beragama. Indonesia, sebagaimana terlihat dalam Pancasila yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945 dan pasal 29 UUD 1945, menjamin kebebasan beragama. Indonesia bukan negara agama (persisnya teokrasi Islam), dan Islam juga bukan merupakan agama resmi negara, meski lebih dari 87 persen penduduk Indonesia memeluk Islam. Sebaliknya, kini ada enam agama yang diakui negara setelah Konfusianisme belum lama ini juga diakui pemerintah. Sebelumnya ada lima agama yang diakui negara: Islam, Katolik, Prostestan, Hindu, dan Budha.
Persoalan yang muncul dari peserta pada sesi pleno dan lokakarya lanjutan tentang kebebasan beragama di Indonesia adalah mengapa Indonesia hanya membebaskan warga negaranya untuk memeluk agama; mengapa tidak ada kebebasan untuk tidak beragama alias menjadi ‘ateis’. Pertanyaan ini tidak mudah dijawab, meski saya yakin pada realitasnya ada warga negara Indonesia yang ateis, atau tidak beragama atau memeluk agama di luar enam agama resmi. Yang jelas sila pertama Pancasila menyatakan, negara Indonesia berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Jika kebebasan beragama juga mencakup kebebasan untuk tidak beragama, maka niscayalah sila pertama Pancasila perlu didiskusikan kembali.
Masalah kedua tentang kebebasan beragama di Indonesia adalah menyangkut aliran dan paham keagamaan yang menyempal (splinter) dari mainstream agama tertentu, seperti Ahmadiyah misalnya. Yang dipersoalkan banyak peserta konferensi adalah jika Indonesia menganut kebebasan beragama, kenapa warga negara pengikut aliran-aliran seperti itu tidak mendapat perlindungan dari negara; ketika kalangan mainstream melakukan penyerangan terhadap mereka dan sekaligus perusakan terhadap rumah ibadah dan tempat kediaman mereka, aparat keamanan seolah-olah tidak melindungi mereka.
Adanya masalah-masalah tertentu dalam kebebasan beragama tidak hanya dihadapi Indonesia. Di Norwegia, misalnya, sampai sekarang menurut ketentuan perundangan yang berlaku, setiap pagi murid-murid sekolah, termasuk Muslim dan lain-lain, harus berdoa secara Kristen Lutheran. Hal seperti ini --yang saya kira bisa ditemukan bukan hanya di Norwegia, tapi juga di negara-negara lain, dan bahkan di sekolah-sekolah Kristen di mana-mana-- jelas tidak sesuai dengan prinsip HAM dan kebebasan beragama. Begitu juga Undang-undang Penodaan Agama (Blasphemy Laws) yang baru mencakup agama Kristen (dan juga agama Yahudi, di beberapa negara Eropa lainnya), tidak agama Islam. Karena itu, diskusi tentang HAM dan kebebasan beragama masih perlu mengkaji hal-hal seperti ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar